Minggu, 31 Januari 2016

5 Semburat Cinta


Apa kabar wahai iman? Apa kabar wahai hati? Apa kabar wahai cinta? Semoga kau tetap bisa istiqomah diatas agamaNya. Wahai hati, semoga kau tetap bisa mencintai satu – satunya sumber kasih terbesar yang terpancar dalam setiap ruas – ruas dedaunan, dan tetesan embun dalam semilir angin kedamaian, yaitu Allah Azza Wajjala. Memang benar apa yang dikata orang, menjaga hati itu bukanlah perkara yang mudah. Sulit, sangatlah sulit. Tapi aku sangatlah yakin, jika memang niat itu aku pegang teguh, Allah pun akan membantunya dalam kesitiqomahan menjalankan setiap perintah-Nya.
            Rintik hujan pagi itu mengguyur ranah ibu kota, ditemani bunga – bunga yang bermekaran menyambut para mahasiswa baru untuk memulai kehidupan baru dengan segala macam yang baru, tentunya dengan sepotong hati yang baru. Dengan langkah yang tertatih – tatih, ku susuri jalanan dengan detail, tak jauh dari apartemen tempat penginapanku, kampus kebanggaan pun sudah ada 2 jengkal didepan kelopak mata. Kampus yang telah lama aku idam – idamkan, yang selalu menjadi bunga tidur menemani malam yang sunyi pada waktu itu. Kampus yang selalu aku selipkan dalam setiap do’a dalam sujud panjangku pada Rabbku. Tak masalah rasanya aku jauh dari kedua orangtua ku, yang terpenting aku bisa mengenyam ilmu disini agar kelak bisa sukses dan membanggakan mereka. Tak lama akhirnya kampus yang selalu aku impikan benar – benar ada didepan mataku, sungguh rasanya berdebar jantungku, ini semacam mimpi? Ataukah...? Allah memang benar janji-Mu. Aku sungguh rasakan keajaiban tahajudku disetiap malam, aku rasakan keajaiban lantunan do’a dalam semilir angin bersama dekapan kasih sayang-Mu. Benar apa yang Kau katakan bahwasannya siapa yang meminta padaKu niscaya akan Aku kabulkan. Allah harus berapa kali aku sujud syukur pada-Mu? Aku rekam benar detik – detik saat pertama kalinya kakiku menginjakan pada tanah kuasa-Mu, saat mataku untuk pertama kalinya melihat kemegahan gedung yang menjulang tinggi,mataku tak boleh absen sedikitpun untuk menyisir pada setiap sudut – sudut ruang.
“Assalamualaikum Khansa.” Ya namaku Siti Rabiatul Khansa. Aku lebih hangat disapa Khansa. Yang menepuk pundaku barusan adalah teman satu jurusanku, kami memang baru saling mengenal semenjak kemarin saat ada agenda “meet up” jurusan,panggil saja ia Ira.Anaknya kecil mungil, perawakannya seperti anak yang baru duduk di bangku Sekolah Dasar. Tapi jangan salah, ia sungguh hebat bagiku, jujur saja dia yang selalu membuat aku iri karena ketaatan dia pada Rabb-Nya. Aku sangat bersyukur bisa mengenalnya.
Tepat hampir seminggu lamanya, kegiatan ospek aku jalani. Tak terasa, aku telah resmi menjadi seorang mahasiswi. Aku sekarang sudah bukan remaja SMA lagi, aku sekarang bukanlah yang dulu, aku harus ubah sifat – sifat ku, cara berfikirku, dan bagaimana aku bertindak dalam menghadapi segala masalah. Ira, mungkin dialah malaikat kecil tak bersayap yang Allah berikan untuku, seperti semacam perantara bagiku untuk menemani hijrah dijalanNya. Aku coba ulurkan hijabku, cara berpakaianku, dan pemahaman agamaku pun sekarang semakin berkembang, semuanya memang telah berubah. Allah kado macam apalagi yang kau beri untukku kali ini? Harus berapa kali lagi tutur kata ini mengucap syukur padaMu? Aku sungguh sangat merasa bahagia, konon katanya memiliki sahabat shalih/ shalihah akan membantu kita juga berikan syafaat di akhirat kelak.
Demi memperkuat imanku lagi, aku coba ikuti berbagai kegiatan keagamaan bersama sahabat surgaku ini. Organisasi keislaman yang lebih hangat disapa rohis pun kami ikuti. Hari ini matahari seperti sedang menampakan senyum indahnya, terang benderang menyinari setiap bait – bait kehidupan. Pagi itu aku sedang disibukkan dengan program pelantikan rohis. Kami dibawa oleh kakak – kakak pembimbing pada suatu desa kecil yang sangat jauh dari peradaban. Selama 3 hari itu kami disuapi ilmu – ilmu agama terus menerus tiada henti. Ada yang aneh kali ini dalam sudut mataku, sungguh aku melihat ada sekelebat sosok mahluk yang indah jika dipandang, sungguh seperti menyejukan hamparan gurun yang gersang. Dari sekerumunan para ikhwan disana, hanya dia yang benar – benar berbeda diantara yang lain. Atau mugkin pancaran keshalihannya yang membuat ia jadi berbeda? Allah, godaan macam apalagi yang Kau timpakan kepadaku? Apakah si merah jambu ini akan mencoba datang lagi untuk menggoyahkan imanku? Hari demi hari,entah mengapa fikiranku terus merekam dengan jelas wajahnya. Allah siapakah hamba-Mu yang tadi hampir mencuri imanku? Penasaranku semakin menjadi – jadi. Tak lama setelah kejadian itu, tiba – tiba aku mendapat kabar tentangnya,entah itu kabar datangnya dari langit ataukah dari aliran sungai, sungguh aku tak perduli. Kabarnya berkata bahwa dia ternyata teman seperjuanganku, sedang mengenyam ilmu pada jurusan yang sama, dan kabar yang paling aku simpan dengan jelas dalam memori otakku adalah kata “Ikhsan”. Nama yang sungguh indah yang kucoba simpan dengan baik di gendang telingaku.
Seiring waktu bergulir, kami para mahasiswa baru diberi tugas oleh kakak senior UKM(Unit Kegiatan Mahasiswa) Rohis untuk mengadakan sebuah agenda yang tujuannya adalah agar kita bisa lebih mengenal satu dengan yang lainnya dalam UKM rohis ini. Aku bersama teman – teman pun memutuskan untuk mengadakan Rihlah(jalan – jalan)  bersama, dengan tujuan tempatnya kami putuskan di sebuah tempat wisata Candi yang tak begitu jauh dari kampus. Hampir sepekan lamanya kami disibukkan untuk mempersiapkan segala macam keperluan dari mulai A sampai Z ,benar – benar kami siapkan betul, berharap kegiatan ini bisa berjalan dengan lancar. “Ada yang bisa meluangkan waktu sore ini nggak? Terutama akhwat, kita akan survei mengenai lalu lintas jalan menuju candi, denger – denger katanya jalannya tidak cukup bersahabat,apalagi jika dilalui oleh para akhwat menggunakan kendaraan bermotor, itu cukup rawan.” Ketua kegiatan agenda kali ini memang sangat detail, sampai kepada hal terkecil pun ia fikirkan dengan matang. Denting waktu terus berputar, namun tidak ada seorang pun yang memberi tanggapan. Akhirnya aku coba untuk mengajukan diri bersama temanku, Sabila.
Kami berucap janji untuk bertemu nanti sore di kampus untuk berangkat bersama melakukan survei. Seperti suatu pertanda entah semacam firasat, sore itu semilir angin begitu menyejukkan, ditemani kicauan burung pada pepohonan yang meramaikan sepi ilusi yang merona. Tak salah lagi, mataku melihat menampakan yang sama seperti seminggu yang lalu, sosok mahluk yang menyejukkan itu melintas lagi melewati lorong – lorong hati. Siapa lagi kalau bukan Ikhsan. Ikhsan lah yang akan menemani untuk memimpin perjalanan kami ke candi pada waktu itu. Tak bisa aku pungkiri, rasanya seperti mendapatkan seonggok berlian. Bahagia? Mungkin terlampau bahagia. Tak lama hanya menempuh perjalanan 1 jam, akhirnya kami tiba ditempat. Subhanallah jalanan kesana memang sungguh sangat mengkhawatirkan. Apa tidak ada niatan sedikitpun pemerintahan untuk membenarkan jalanan menuju candi? Padahal ini merupakan salah satu investasi daerah yang perlu dilestarikan. Entahlah apa alasan kuatnya, aku kurang faham benar. Moment – moment pada sore itu mungkin tak akan mungkin aku lupakan sampai kapanpun. Hingga tak terasa hingga larut malam kami bercengkrama sembari menikmati makan malam. Sungguh tutur katanya selalu diselingi dengan ayat – ayat Allah, hadist pun tak lupa selalu ia selipkan dalam setiap ucapannya. MashaaAllah kekagumanku semakin menjadi – jadi. Ini semacam suratan takdir entah apa, lama kelamaan setelah agenda rihlah itu, kami pun membuat semacam suatu persahabatan, tujuannya memang hanya sebagai wadah kita untuk berdiskusi tentang ilmu agama. Kami beri titel “sahabat surga”. Kemanapun pasti formasi selalu lengkap berlima. Sahabat surga itu didalamnya ada aku,Ira,Sabila,Ikhsan,dan sang ketua kegiatan agenda rihlah kemarin, namanya Ridwan. Sebut saja kami para pemburu kajian, dimanapun itu pasti selalu kami datangi. Kami dengan 5 watak yang berbeda, dan tentunya saling melengkapi mungkin sengaja Allah satukan untuk menemani kita bersama – sama istiqamah dijalan-Nya. Aku berjanji pada Rabbku, tak akan aku lepaskan mereka sahabat – sahabat hebatku, karena hanya bermain dengan merekalah, agenda bermainku jadi berkualitas. Iya karena mereka selalu saja menyelipkan ilmu – ilmu agama disela – sela perbincangan kami. Merekalah yang selalu mengingatkan jikalau aku melakukan kesalahan.
Tapi disisi lain sebenarnya aku merasakan pilu yang menderu. Bagaimana bisa rasa nista ini terus menjadi – jadi? Sementara Ikhsan adalah sahabatku sendiri? Bagaimana bisa jiwa yang kotor ini menyimpan rasa yang tak harusnya ada? Allah aku takut ini jadi suatu fitnah yang keji. Mencintai salah satu mahluk-Mu, aku sangat takut rasa cinta ini melebihi rasa cinta pada-Mu.
Derasnya hujan mengguyur hati yang tersipu malu pada sudut – sudut cinta yang terus merona. Kami formasi lengkap sahabat surga sedang sibuk bercengkrama berdiskusi perihal jadwal kajian yang akan kami kunjungi pekan ini. Entah ini faktor cuaca atau memang aku yang tak bisa menjaga kebugaran tubuh, aku hanya bisa berdiam di pojok kursi dibungkus oleh jaket gunung yang tebal, karena kondisi tubuhku yang kurang baik, aku tidak begitu larut dalam perbincangan mereka. “Khansa, mau aku belikan vitamin?” tanya Ikhsan. Seketika rasa ini membuncah, debar jantungpun sudah meloncat ke pagar depan apartemen. Aku sangatlah tahu, karena hanya Ikhsanlah yang selalu memberikan perhatiannya jika ada salah satu dari kami yang sakit, entah itu sedang ada masalah atau yang lainnya. Allah tapi mengapa hati ini begitu merasa dispecialkan olehnya? Padahal ia pun melakukan hal yang sama pada temanku yang lain. Sebenarnya ini bukan sekali atau kedua kalinya ia lemparkan perhatian untukku. Dulu masih saja aku ingat, ketika aku dilarang memakan eskrim kesukaanku saat aku sedang terkena flu, ketika aku diberi jaket saat kajian malam itu karena kondisi tubuhku sedang kurang fit, ketika eskrim itu ia antarkan khusus untuku saat aku sudah benar – benar sembuh dari sakitku, ketika ia selalu menyuruhku untuk mulai menyukai sayur – sayuran, karna ia hafal betul aku sering sakit – sakitan karena aku tidak menyukai makanan yang bergizi. Dan karena kata – kata ia pula seketika aku jadi menyukai sayur, padahal sedari dulu itu selalu jadi musuh bebuyutanku. Benar – benar dia telah mengubah hidupku. Apa mungkin bisa jadi diapun memiliki rasa yang sama padaku ,wahai Rabbku? Karena sungguh dari setiap tingkah laku dia padaku berbeda. Ah, fikiranku semakin kacau tak tentu arah.
Untukmu yang selalu ada dihatiku,yang mengisi pikiranku disiang dan malamku,yang selalu kusebut namamu dalam do’a dan sujudku, yang selalu aku ceritakan kepada Rabbku. Digelap dan sunyinya malam kuterbangun dari tidurku,ditemani derasnya hujan yang menemani malamku,kuambil wudhu dan bersegera bertemu dengan Rabbku. Ku bisikkan semua pada-Nya,termasuk tentangmu,tentangmu yang membuat hidupku seolah berubah, yang membuatku merasa lebih dekat dengan Rabbku, tentangmu yang tak bisa lepas dari bayang – bayangku, dalam – dalam aku merunduk dan berdo’a.
“Wahai Rabb Kau telah menakdirkan ini, kau pertemukan aku dengan seseorang yang ketika melihatnya bahagia hati ini, sejuk hati ini, seolah menyihir diri ini. Tapi Astagfirullah mungkin aku terlalu berlebihan memujinya. Tapi jika boleh jujur memang itu yang kurasakan tentangnya saat ini.”
“Allah Wahai Rabbku. Kumohon jagalah hati ini agar tidak salah menempatkan cinta, biarkan hati ini mencintai-Mu melebihi cinta ini kepada mahlukMu, dan istiqamahkan diri ini untuk tetap tegar sendiri menjalani hidup ini.”
“Wahai Rabb lewat air mata ini, lewat do’a ini ,lewat derasnya hujan ini,kusampaikan cinta dan rinduku untuknya. Jaga ia, dan kalau kuboleh minta, aku ingin disandingkan bersamanya di dunia dan bahagia di surga-Mu.” Dan untukmu, aku mencintaimu karena agama dan ketaatanmu pada Rabbmu. Maka ketika agama dan ketaatanmu pada Rabbmu hilang, maka hilang pulalah kecintaanku padamu.
Aku tahu, ini memang fitrah yang diberi oleh-Nya. Tapi bagaimanapun caranya aku harus bisa memendam rasa ini, jangan biarkan satu orang pun mengetahuinya, biarlah ini jadi rahasia terbesarku dengan Rabbku. Karena aku tahu, cinta ada bukan untuk diumbar. Biar aku selipkan saja namamu dalam setiap lantunan syahdu do’a yang selalu aku terbangkan ke langit sana.
Tampaknya sahabat – sahabat surgaku mulai merasakan hal yang aneh dalam diriku. Yang secara tiba – tiba aku selalu kegirangan jikalau Ikhsan melakukan hal – hal yang konyol yang membuat aku bahagia. Melihat tingkah laku ikhsan yang selalu membedakan cara bersikap ketika berhadapan denganku dibandingkan saat bersama yang lain. Mungkin mereka pun semakin lama semakin mengerti apa yang aku rasakan sejak saat itu. Tapi mereka memilih untuk bungkam, seolah – olah tak ada apa – apa diantara aku dengan Ikhsan. Salah satu sahabatku, Ridwan. Dia memang satu – satunya dari formasi 5 kami yang selalu jadi tempat memuntahkan rasa kecewa,sedih,susah,senang yang dibungkus dalam suatu wadah yang ia simpan kemudian ia proses agar mendapatkan output saran dari masalah yang kami alami. Tak biasanya, ia coba mendekatiku bermaksud untuk mengorek perasaanku pada Ikhsan selama ini.
“Khansa, aku tahu cinta itu fitrah. Tapi aku mohon kamu jangan terlalu menggantungkan harapan pada selain Allah, karena sungguh itu akan membuatmu sakit.” Aku tak mengerti apa yang ia katakan, aku coba paksakan otakku untuk mencernanya. “ Aku janji aku tak akan memberitahu rahasia besar ini pada siapapun, jujur padaku Khansa. Apa benar kamu menyimpan sedikit harap pada Ikhsan?” Benar memang seperti dugaanku, mereka pun menyadarinya, hanya saja mereka selalu bungkam selama ini. Sunyi mencekam rasanya seketika mulutku seperti ada kunci paten yang menguncinya rapat – rapat. “Kemarin sore, entah mengapa Ikhsan datang ke apartemenku. Tujuannya sih katanya hanya ingin mengisi waktu  luangnya. Tapi disela – sela itu, ia menceritakan masa lalunya padaku, padahal sungguh aku tak memintanya. Kau tahu Khansa? Aku sangat kaget mengetahui bahwa Ikhsan dulu pernah menjalin sebuah ikatan bernama pacaran, ya bersama salah satu perempuan di Kota sebrang sana. Katanya sih ia sudah menjalin hubungannya sejak ia duduk di bangku SMP, hingga berakhir 3 tahun lamanya. Dan yang aku tak mengertinya, perempuan itu berbeda agama dengan kita .Padahal sudah jelas aturan agama kita melarangnya, tapi aku percaya mungkin dulu ia masih belum faham mengenai ilmu agama sejauh ini. Oya, kabarnya dia juga masih menyimpan sejuta harapan yang besar pada perempuan itu. Ia akan menunggunya sampai Allah memberikan hidayah padanya, agar ia bisa bahagia berdua dalam naungan Islam yang indah. Baik sih mungkin niatan dia, tapi bukannya?.....”
Seketika jerit pilu itu mulai menderu. Sakit yang mengiris bagai luka disiram air garam seketika menghujam tubuhku. Bagaimana bisa aku berharap pada seseorang yang ia pun mengharapkan orang lain untuk hidupnya? Dugaanku bahwa dia punya rasa yang sama pun itu salah besar. Bagaimana mungkin aku bisa sejauh ini untuk menyimpulkan bahwa dengan sikap – sikap manis yang selalu ia lakukan untukku, itu berarti pertanda rasa tertarik? Astagfirullah. Ia menawariku vitamin pada waktu itu, karena sudah sewajarnya sesama muslim untuk saling tolong menolong. Mungkin ia hanya ingin menolongku saja. Tidak ada yang special. Ia meminjamkan jaket untukku karena tak ingin melihat sahabatnya sakit. karena sahabat itu bagaikan anggota tubuh yang saling berhubungan. Jika ada salah satu yang sakit, bagian yang lainnya pun akan merasakan sakit yang sama. Itu wajar, dan tidak ada yang special.
Allah apa ini semacam teguran untukku? Untuk tidak mencintai salah satu hamba-Mu melebihi cinta pada-Mu? Benar, sungguh benar adanya apa yang dikatakan Ridwan barusan. Jika kita menggantungkan harapan pada selain Allah, akhir – akhirnya hanya akan mendapatkan sakit. Bagaimana bisa laki – laki yang selalu aku harapkan, selalu aku selipkan dalam setiap do’aku berharap ia bisa menjadi imamku kelak yang bisa membimbingku kedalam surga-Mu pun mengharapkan hal yang sama kepada perempuan lain?
Allah aku tahu. Cinta ini indah, tapi...? ya Allah tapi sungguh aku sangat bersyukur mengetahui ini semua. Ketika aku terlalu berharap pada seseorang maka Engkau timpakan kepadaku pedihnya sebuah pengharapan, supaya aku mengetahui bahwasannya Engkau sangat mencemburui hati yang berharap pada selainMu. Mungkin maka dari itu pula Engkau menghalangiku dari perkara tersebut agar aku bisa kembali berharap pada-Mu. Jika memang tadinya aku berfikir bahwa cinta itu bisa patah, lalu bagaimana aku bisa mengerti cinta Allah? Astagfirullah maafkan diri ini yang selalu khilaf. Ampuni aku wahai Rabbku. Karena sampai detik ini aku masih menyimpan sebuah rasa cinta pada salah satu hamba-Mu. Jika memang rasa cinta ini membuatku jauh dari-Mu, maka hilangkanlah. Aku mohon pertemukan aku dengan orang yang mencintai-Mu diatas segalanya. Izinkan aku seindah melati yang indahnya bukan untuk semua lelaki tapi berlian untuk yang bertahta suami. Dan jika memang dia tidak baik untuk dunia dan akhiratku, aku berharap ia bisa di persatukan dalam ikatan persahabatan Illahi bersamaku.
Anggap saja rangkaian ceritaku bersama Ikhsan sebagai bumbu persahabatan kami. Dengan bergulirnya denting waktu, aku berusaha terus untuk mencairkan perasaan yang seharusnya tak pernah ada dan tak pernah aku rasakan, aku usahakan rindu ini kutikam ketika ia selalu datang menggoda imanku. Aku tahu ini sangat sulit aku lakukan, tapi dengan niatan tekad yang kuat, tiada yang tak mungkin. Ira, malaikat kecilku satu – satunya yang selalu membantuku untuk tetap mengistiqamahkan segenap cintaku, untuk aku kembalikan pada satu – satunya Dzat pemberi nikmat yang tiada tara, Allah Azza Wajjala.
Tak dapat dipungkiri dan dimengerti. Ternyata tak hanya padaku si manis merah muda ini berusaha datang dan menggoda pada setiap hati , berusaha untuk menggoyahkan iman. Tak kusangka, kali ini ia menghampiri salah satu sahabatku juga. Salah satu member dari sahabat surgaku. Ia yang selalu bicara mengenai cinta. Siapa lagi jikalau bukan Ridwan. Siang itu, mentari begitu terik, kehangatannya menyapa daun – daun yang berguguran. Berusaha untuk mencuri momen – momen saat kebersamaan kami, saat sahabat surga kali itu selesai mengadakan kegiatan belajar bersama. Ridwan mencoba mendekatiku, dan ternyata tak lain dan tak bukan ia bermaksud ingin mencurahkan rasa yang selama ini menghantui jiwa dan hatinya. Subhanallah, Allah mengapa kau biarkan virus merah muda ini terus merajalela bersemayam pada sahabat – sahabatku? Tak habis fikir, ternyata Ridwan menyimpan benih – benih cinta pada Ira. Cerita ini terus beruntun. Cerita ini ternyata belum mati, hanya saja ia sedang bermutasi. Dan entah kapan ia akan berakhir? Terus terkatung – katung dalam bait – bait figura pertahanan. Bagaimana bisa Ridwan menyimpan rasa pada salah satu sahabatnya sendiri? Pantas saja ada suatu keanehan saat kemarin Ira sempat dirawat di salah satu klinik dekat kampus, Ridwan datang dengan seorang diri tanpa mengajak kami. Ya, itu sangat hal yang tak lumrah yang pernah Ridwan lakukan selama bersahabat dengan kami. Padahal ia yang selalu berkoar – koar disetiap kesempatan apapun itu kita selalu sepakat untuk tetap berlima.
Wahai cinta, kau memang bisa mengubah segalanya menjadi indah. Kau begitu menentramkan, lagi menyejukkan. Cinta yang seketika tumbuh pada gurun gersang yang menyejukkan setiap  pepohonan, membaurkan semerbak bau yang menghangatkan setiap figur mata memandang. Tapi apalah daya jika cinta ini bukanlah cinta yang halal? Takut hanya nafsu semata yang menjadi bumbu rasa ini. Astagfirullah. Begitu lama hati ini memendam suatu rasa kagum pada sesosok Ikhsan, dan entah lama akan berakhir. Begitu pun dengan Ridwan yang sedang berjuang menikam rasa yang terus menggebu pada salah satu sahabat surga, Ira.
Pagi ini begitu kelabu, awan dengan enggan untuk menampakkan diri, matahari pun memilih untuk diam disudut langit sana. Entah akan sampai kapan musim penghujan ini mewarnai ranah ibu kota. Guyuran hujan pun turut serta membasahi hati yang pilu. Tepat hari ini adalah hari kelahiranku. Hari ini pula aku genap berusia 18 tahun. Tapi mengapa tak ada yang special sama sekali pada hari itu? Padahal anganku telah membayangkan teman – teman mengucap do’a – do’a kebaikan untukku. Sahabat surgaku pun tak ada yang ingat satu orang pun. Subhanallah entah mengapa rasanya begitu sakit. Mereka lupa ataukah mereka memang tak perduli?  Keesokan harinya beruntun, Ira malaikat kecilku pun genap 18 tahun. Wajar saja kita dijuluki kakak adik bersaudara. Kelahiran kami hanya berbeda beberapa jam saja. Kita memang bukan asli yang dilahirkan dari kedua orangtua yang sama, kita juga bukan kakak beradik tulen yang sering mereka lontarkan kepada kami. Tapi InshaAllah, kasih sayang kami jangan diragukan lagi. Kita saling mendukung layaknya kakak beradik yang sesungguhnya. Denting waktu terus berputar, dan hingga saat ini pula tidak ada yang mengucapkan do’a – do’a bagi kami. Malam itu, Ira akan menginap di apartemenku, karena kami berencana akan mengadakan syukuran kecil – kecilan karena bertambahnya usia kami. Tak disangka, para sahabat – sahabat surgaku seketika menyergap kami berdua di apartemen. Dan benar – benar seperti mendapat seonggok berlian dari jalanan nan sepi. Tak diduga mereka memberikan kejutan yang begitu mengesankan bagi kami berdua. Ah, begitu senangnya memiliki sahabat seperti mereka. Sekotak bolu ulang tahun kecil pun ada di hadapan kami berdua, ditemani beberapa bungkus kado yang begitu indah. “Khansa, ini sedikit pemberian dariku, dan ini pemberian dari kami bertiga.” Ikhsan seketika mencoba memecah haru dalam malam yang begitu indah. MashaAllah bagaimana bisa ia merencanakan ini semua? Kado ini khusus untukku darinya? Rasa bahagia itu seketika membuncah lagi. Senang? Haru? Sedih? Iya, aku sangat terlampau bahagia diberikan sebungkus kado special dari sesosok mahluk yang menurut hatiku juga special. Tapi disisi lain aku merasakan kesedihan yang mendalam, karena aku harus menikam lagi rasa yang seketika muncul kembali dari sela-sela aliran darah yang menghangatkan tubuh. Cukup! Ini tidak ada yang special. Ia memberiku hadiah karena merasa akulah sahabat terdekatnya dibandingkan yang lain. Tidak perlu merasa terlalu bahagia, ini hanya bingkisan kado yang didalamnya terdapat sayang yang tulus dari sesosok sahabat hebat dalam hidupku. Tak kalah, Ira pun mendapat bingkisan kado dari Ridwan. Tapi tak ada rasa yang mengherankan bagi dirinya, karena Ira pun berfikiran ini adalah hal lumrah. Wajar, sangatlah wajar. Karena Ridwanlah yang selalu mendengarkan keluh kesah Ira setiap hari, ia hafal betul bahwa dengan Ridwan lah ia paling dekat diantara kami.
Dengan jantung yang berdebar, hati yang tersenyum, perlahan kucoba membuka perlahan sebuah bingkisan kado yang begitu indah, yang begitu memanjakkan mata jika dilihat. Sudah kuduga, isinya pun tak kalah indah. Selembar kerudung biru, mataku terbelalak. Bagaimana ia tahu jika aku juga menyukai aroma – aroma biru? MashaAllah. Terimakasih atas kebahagiaan yang tiada tara untuk malam ini Rabbku. Malam yang begitu indah bak permadani di surga sana.
“Assalamu’alaikum Ira, sahabat surga telah menunggu di apartemenku. Kamu segera kesini ya? Jangan lupa juga bawa perbekalan yang telah direncanakan kemarin. Kami tunggu ya ukhti. Wassalamu’alaikum” dering telepon itu akhirnya berakhir pada perbincangan. Memang Ira lah yang selalu tertinggal disetiap momen yang akan kami lalui. Hari ini, sahabat surga memiliki agenda untuk mengadakan bakti sosial pada salah satu panti asuhan yang tak cukup jauh dari kampus. Kami memang benar – benar ingin mewujudkan dengan nyata, visi misi dari awal adalah menjadi sahabat surga yang kelak bisa tarik menarik menuju surga-Nya, maka dari itu tak bosan kami menebarkan beni – benih kebaikan dalam setiap hembusan nafas ini. Tak heran jika kami selalu merencanakan kegiatan – kegiatan yang positif. Kali ini Sabila yang akan memimpin jalannya acara kami. Anak yang penampilannya berbeda dari kami. Ia memang seperti memiliki jiwa seperti lelaki, tetapi hatinya begitu perempuan, lembut selembut sutra yang bergelantung dipepohonan.
Waktu membuat kita kian beranjak dewasa. Sederet kisah kasih yang terjalin begitu lama yang akan membekas dihati sampai kapanpun telah terukir manis dalam fikiran. Berbagai badai yang menempa telah kami tepis bersama. Segala perjuangan hingga titik darah penghabisan telah kami lewati bersama. Akhirnya gelar sarjana itu kami peroleh dengan waktu yang sama, tetap dalam 5 formasi. Kicauan burung itu turut mengiringi kebahagiaan para wisudawan yang telah sukses menempuh pendidikan 4 tahun lamanya. Keringat itu terbayar sudah dengan toga kebanggaan. Tapi entah mengapa dalam kebahagiaan ini terselip sedikit haru yang begitu mendalam. Ini mimpi terburuk disepanjang sejarah hidupku. Berpisah dengan sahabat – sahabat yang begitu hebat, harus meninggalkan beribu – ribu untaian kasih sayang yang telah kami rangkai bersama. Allah rasanya ini begitu sulit. Aku takut diluaran sana tak kudapatkan lagi orang – orang yang bisa menyayangiku begitu tulus. Siapa lagi yang akan mengingatkanku melaksanakan dhuha jikalau aku lalai? Mengajakku selalu menunaikan shalat 5 waktu dimasjid? Memburu berbagai kajian bersama? Allah rasanya ini cukup sakit.
** Sebiru hari ini..
 Birunya bagai langit terang benderang
Sebiru hari kita bersama disini..
Seindah hari ini..
Indahnya bak permadani surga
Seindah hati kita walau kita kan terpisah
** bukankah hati kita telah menyatu
Dalam tali kisah persahabatan Illahi
Pegang erat tangan kita terakhir kalinya
Hapus air mata meski kita kan terpisah
**Selamat jalan teman tetaplah berjuang
Semoga kita bertemu kembali
Kenang masa indah kita
Sebiru hari ini...
Hanyut sudahlah ketika Ikhsan membawakan sepenggal lagu kesukaan kami berlima. Lagu yang selalu menemani kebersamaan kisah ini. “Sebiru Hari Ini” lagu dari edcoustic yang begitu menyayat hati jikalau kami ingat detik – detik setiap momen yang selalu dilalui bersama. 4 tahun bagai 4 detik, memang sulit rasanya memaksa hati untuk menerima kenyataan pahit jika harus tak bersama lagi. Setiap pertemuan selalu diiringi perpisahan. Tapi yakinlah bahwasannya perpisahan ini adalah pintu gerbang kesuksesan kami kelak. Ikhsan dengan hati yang menggebu tak sabar menginjakkan kaki ke Qairo untuk melanjutkan S2 nya, begitupun aku yang akan datang ke Negeri Paman Sam. Ridwan, Ira, dan Sabila yang kebetulan mendapat rezeki beasiswa pada Negeri yang sama, Negeri Kincir Angin yang menjanjikan kehidupan mereka diatas awan. Kita memang melangkahkan kaki dengan arah yang berbeda, tetapi tujuan kita sama. Biarkan titel “sahabat surga” ini tetap membekas dalam jiwa, biarkan gedung megah itu jadi saksi bisu kisah persahabatan kami sampai kapanpun. Perkara rasa yang masih tersirat kepada Ikhsan? Bagaimana nasibnya ia? Rasa yang selalu meluluhlantahkan jiwa yang sepi. Bagaimana bisa aku menjalani hari – hariku tanpa Ikhsan? Entahlah... ini mungkin salah satu cara Allah agar aku bisa sedikit demi sedikit melupakannya, dan tetap istiqamah mempersembahkan cinta ini hanya untuk  Nya. Percaya saja, jikalau memang ia jodohku, Allah mempunyai beribu cara untuk mempertemukan kami kelak entah dimana dan kapan waktunya. Aku disini hanya berusaha untuk ikhlas. Aku pasrahkan pada skenario yang sudah Allah tulis untukku diatas langit sana.

Minggu, 24 Januari 2016

Is My Way


Semilir angin di lembayung senja dengan setia menemani tetesan rintik hujan yang mengguyur tanah gersang yang dilahap panasnya terik matahari sepanjang waktu. Perjuangan selama 4 tahun lamanya telah usai terbayar dengan gelar cumlaude. Biarkan gedung pencakar langit ini yang menjadi saksi keringatku sebagai bukti perjuanganku mendapatkan gelar sarjana design fashion dari salah satu Universitas di Ibu Kota. “Reny!!” saut salah satu teman di sudut ruang auditorium. Ya, namaku Resa Nyi Pradani. Hanya saja teman – temanku lebih sering menyapa hangat aku dengan sebutan Reny. Sautan itu berasal dari salah satu sosok panutanku selama aku mengenyam S1 ditempat ini, dialah sahabat hebat seperjuanganku. Oka Setiana Dewi. Namanya memang sudah mirip dengan salah satu artis yang selama ini aku idolakan. Tak heran jika memang ada beberapa sifat ia yang selalu ia mirip – miripkan dengan artis idolaku itu. Sahabat seperjuangan selama menempuh S1 di kampus, juga sahabat perjuangan selama menempuh S1 ujian dari Allah. Sahabat yang selalu menemani dalam taat pada Rabb-Nya.
                Sudah sejak sedari dulu sebelum kami berdua lulus sarjana, kami telah merencanakan untuk bisa berkecimpung masuk kedunia fashion muslimah remaja pada waktu itu. Fashion? Mungkin bukan perihal yang langka yang sering kita temui disetiap lapisan masyarakat. Aku fikir, jika memang aku bisa menceburkan diri dalam dunia fashion, aku yakinkan aku bisa sukses dalam bidang ini. Sudah berapa ribu macam fashion yang telah berkembang dikalangan masyarakat sekarang? Namun aku sangat menyayangkan. Mengapa semakin berkembangnya jaman, mode berpakaian seseorang semakin begitu runyam? Aku sangat tahu mode. Tapi bukannya juga mengingat kita ini asli orang timur? Dan jika mengikuti mode dunia barat tidak akan cocok dalam lingkungan masyarakat kita?
                Semakin miris lagi jika melihat para muslimah remaja dijaman sekarang,cara berpakaian mereka, cara mereka mempercantik diri, dan mode fashion lainnya yang menurutku itu sangat jauh dari yang Allah anjurkan. Mereka berpakaian tapi seperti telanjang, menampakkan lekuk tubuh, dan yang lainnya. Kalaupun mereka mengenakan jilbab, tetap saja pakaian mereka ketat menampakkan lekuk tubuh. Astagfirullah, padahal Allah pun telah menerangkan dengan jelas adab – adab perempuan dalam berpakaian.
                Dari berbagai macam kekhawatiran yang sedang menyerang para remaja dan merajalela dikalangan masyarakat, aku dan Oka bertekad untuk mencoba mengubah pemikiran bahwasannya cara berpakaian yang baik itu bukan seperti apa yang sedang mereka gandrungi sekarang. Bagaimana caranya pula kita membuat sebuah design jilbab muslimah yang modis tapi tetap menjaga aturan – aturan Allah.
Seiring waktu bergulir, satu persatu ide pun bermunculan dalam sel – sel neuron otak. Sebuah design baju muslimah yang syar’i tapi tetap modis itu akhirnya bisa kita ciptakan. Lambat laun kami berdua berusaha menyuapi para muslimah mengenai pengetahuan berpakaian yang baik. Meski banyak cercaan dari berbagai pihak, tapi kami berusaha tetap istiqamah menjalankannya. “Masa iya mba, itu pakai jilbab apa mukena? Kok ya panjang banget kaya nyapu jalanan.” Komentar yang begitu mengiris hati berdatangan dari berbagai pihak. Sampai akhirnya lama kelamaan, perjuangan kami berdua membuahkan hasil, tentunya ini juga tak lepas dari pertolongan Allah. Para remaja mulai mengubah mindset mereka tentang cara berpakaian muslimah yang baik. Sampai ada suatu waktu saat kami berdua sedang gencar – gencarnya mengembangkan design fashion yang sedang kami buat, ada salah seorang wanita yang tadinya tidak menggunakan hijab, jadi bisa dengan biasa menggunakan hijab. Sungguh kuasa-Mu begitu indah. Disamping kami bisa mengembangkan fashion, kami pun mendapatkan bonus dengan membawa mereka pada jalan-Mu. Karena hijab itu bukan perihal siap atau tidak siap. Bukan perihal memperbaiki hati dulu. Bukan pula perihal sudah atau belum mendapat hidayah dari Allah. Karena telah jelas menurut aurat hukumnya adalah wajib. Terutama bagi kaum muslimah, dan Allah pun telah dengan jelas mencantumkan dalam surah Al Ahzab ayat 59. Banyak kaum hawa yang menyangka bahwa tidak menutup aurat adalah dosa kecil yang dapat tertutupi dengan pahala yang banyak dari shalat,puasa,zakat, dan haji yang mereka lakukan. Namun ini adalah cara berfikir yang salah dan harus diluruskan. Kaum wanita yang tidak memakai jilbab, tidak saja ia telah berdosa kepada Allah, tetapi telah terhapus pula seluruh amal ibadahnya. Naudzubillahimindzalik.
Berbagai alasan mereka lontarkan mengenai ia belum bisa mengenakan jilbab. Konon mereka belum siap. Berhijab itu kewajiban, dan Allah itu telah jelas mencantumkannya dalam Al-Qur’an,siap atau tidak ya seharusnya siap,karena justru bukannya siap itu datang setelah kita mau untuk memulainya? Ada juga sebagian yang mengatakan menunggu hatinya baik. Bukannya banyak wanita muslimah berhijab yang hatinya baik,mengapa kita tidak mencoba untuk meneladaninya? Disudut lain ada yang mengatakan ia belum mengetahui hukumnya. Padahal perintah berhijab telah jelas ada di Al-Qur’an surat Annur ayat 31 dan Al-Ahzab ayat 59. Ada juga yang memang tidak diperbolehkan oleh orangtuanya, katanya lebih baik ia mendalami islam yang biasa – biasa saja. Bukannya tidak ada Islam yang biasa dan Islam yang luar biasa? Hanya ada satu Islam yang sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan Sunnah. Ada juga yang kebingungan karena susah mendapatkan pekerjaan jika kita berjilbab. Allah itu maha pemberi rezeki. Ketika kita meninggalkan sesuatu demi menjalankan kewajibannya sebagai orang muslimah ,Allah pun akan memberikan ganti yang terbaik, daripada mendapatkan uang tapi mendapatkan dosa? Mereka juga katakan bahwa mengenakan hijab itu tidak modis. Hijab itu fungsinya adalah untuk menjaga kemuliaan para muslimah, dengan hijab kita memelihara rasa malu, karena dibalik hijab ada pesona, cantiknya muslimah pun ada pada kesederhanaanya. Lucunya, ada pula yang susah mendapatkan jodoh tuturnya. Bukannya kita ingin memiliki lelaki yang beriman? Lelaki beriman pasti akan memilih wanitanya yang mengenakan hijab. Ada juga yang mengeluh karena kegerahan. Andai saja kita semua tahu api neraka itu lebih panas. Dan lagi – lagi mengeluh karena belum mendapat hidayah. Hidayah itu untuk dijemput bukan ditunggu.
Bukan satu atau dua orang yang memang masih belum faham mengenai pentingnya berhijab. Maka dari itu, aku dan Oka tak gentar untuk terus berdakwah memasukan pemahaman mengenai fashion ala remaja muslimah. Menegakkan agama Allah memang bukan perkara yang mudah,selalu saja ada rintangan. Karena inilah bumbu untuk kita mendapat kebahagiaan yang hakiki di akhirat kelak. Selama kita tetap istiqamah di jalan-Nya, InshaAllah semua urusan, semua halang rintang dalam hidup kita akan dipermudah oleh-Nya.

Selasa, 19 Januari 2016

Bumbu Cinta Al-Ikhlas Untuk Nenek


Bumbu Cinta Al – Ikhlas Untuk Nenek
Senja sore ini angin menyeruak begitu kencang, air bercucuran mengiringi kepedihan di ranah ibu kota. Dengan langkah yang tertatih – tatih seorang anak menyusuri jalanan hingga matahari terbenam. Ya, seorang anak yang begitu mendambakan kasih sayang kedua orang tuanya. Pikirnya, hanya satu-satunya cara agar  dia bisa mendapatkan kasih yang begitu tulus dari orang tuanya adalah menemui Tuhan. Hanya dengan cara itu, ia bisa meminta pada Tuhan agar ia bisa seperti teman – teman yang lain, merasakan dekapan hangat orang tua yang selalu ia rindu. Namun itu hanya khayalan belaka, karena ia tau kedua orang tuanya selalu sibuk memikirkan pekerjaan.Mana mungkin keduanya bisa mengingat bagaimana rasanya seorang anak kecil yang sangat merindukan dekapan hangat mereka.
            “Tuhan? Siapakah dia? Harus kemanakah aku mencarinya?” Angan – angannya kembali tercecah – cecah. Bagaimana bisa seorang anak kecil lugu nan polos dengan usia yang sangat belia harus memahami siapakah Tuhannya. Sekelibat bayangan terlintas dalam fikiranya bersama rintik hujan pada sore itu. Begitu detail rekamannya terlintas jelas dalam angannya, bahwa pada suatu hari ketika ia pulang sekolah, ia melihat rombongan jenazah melintas di pagar rumahnya. Dan orang – orang bilang bahwa hanya dengan meninggal kita bisa bertemu dengan Tuhan. Keesokan harinya, ia langsung menghampiri Neneknya di sebuah gubuk yang memang tak jauh dari rumahnya. Bermaksud untuk menanyakan suatu hal yang selama ini ia fikirkan. “Assalamu’alaikum Nek.” sambil mencoba mengetuk pintu yang hampir rapuh termakan lapuknya usia. “ Ini Fulan Nek.” Ya, seorang anak yang lugu nan polos ini bernama Fulan Rahmat Ibrahim. Yang lebih hangat disapa Fulan. Umurnya yang begitu belia, ia baru saja mengenyam pendidikan Sekolah Dasar tepatnya ia duduk di bangku kelas 3.“Nek Fulan mau nanya boleh?Nek memangnya kalau kita mau ketemu Tuhan kita perlu meninggal dulu ya Nek? Fulan mau banget Nek ketemu Tuhan. Bantu Fulan untuk meninggal sekarang juga.” Tersentak Nenek heran mendengar ucapan cucu kesayangannya itu. “ Fulan sayang mau ketemu Tuhan?” dengan kata yang terbata – bata karena masih memikirkan saja sikap cucunya yang sangat aneh. “ Ia Nek, Fulan mau ketemu Tuhan, Fulan mau minta sama Tuhan agar Fulan bisa seperti teman – teman yang lain Nek. Yang bisa setiap pagi diantar sekolah oleh Papanya, yang setiap sebelum tidur bisa diberi dongeng oleh Mamanya, yang bisa merasakan pelukan Mama Papa setiap harinya Nek. Kenapa ya Mama Papa Fulan selalu sibuk dengan pekerjaannya Nek? Apa emang mereka enggak sayang sama Fulan?” MashaaAllah, mendengar pinta cucunya itu, Nenek langsung mendekap erat tubuh mungilnya. “Bagaimana bisa aku menggantikan  peran keduanya, sementara aku sangat tahu bahwa kasih sayang kedua orang tua itu tidak akan pernah tergantikan? Bahkan tak bisa dibeli dengan seonggok berlian sekalipun.” Pecah air mata keduanya. Seolah – olah dunia ini memang telah kehilangan suatu sumber kasih sayang yang sangat begitu didambakan oleh seorang anak yang haus merasakan kasih yang terpancar tulus dari orangtua. “ Fulan tahu? Nenek punya cara lain untuk bertemu Tuhan.” Mendengar itu, ia merasa mendapat setitik celah cahaya dari legamnya kegelapan yang selama ini ia susuri. “ Cara apa Nek? Fulan ingin tahu.”  Rasanya ingin sekali ia segera tahu dan melaksanakan caranya itu. “ Fulan, cucu kesayangan Nenek, dengan kita mendirikan Sholat, dan berdo’a kepada Allah, kita bisa bertemu dengan Allah secara tidak langsung.” Ditemani kicauan burung pada pagi itu, dan semerbak embun yang masih hangat menyapa hati yang sedang bergejolak. Bergumam, terus ia paksakan otaknya untuk mencerna kata – kata Neneknya yang barusan di lontarkan. “Sholat?Allah? Itu apa Nek?”
            Sakit, rasanya hati Nenek ini teriris bagai luka yang tersiram air garam. Sungguh hebat rasa bersalahnya mulai menghantui jiwa. Bagaimana mungkin ketika teringat kisah masa lalu anaknya yang begitu kelam. Hamil diluar nikah memang aib yang begitu keji, jangankan dimata manusia, di mata Allah pun itu telah digolongkan pada dosa besar. Caci maki sudah menjadi santapan Nenek  setiap harinya pada masa itu. Penyesalan memang tak pernah datang diawal, benar adanya karena Nenek tahu ia tak bisa mendidik anaknya dengan baik. Benar apa yang dikata orang. Ajaran agama itu sangat penting untuk menjadi pondasi yang kokoh bagi seorang anak. Bagaimana bisa Nenek itu terima jikalau cerita masa lalu anaknya akan dialami pula oleh cucunya? Begitu miris rasanya ketika tahu, cucunya tidak pernah diperkenalkan dengan Ilmu Agama hingga detik ini. Apa ini semacam hukuman kehidupan yang berantai yang harus dialami oleh serentet kisah cerita keluarga kecil ini. “Fulan sayang, mulai besok Nenek ajari kamu sholat ya. Nenek janji, bantu Fulan untuk ketemu Tuhan.” Lorong hati gelap yang seketika disinari cahaya terang benderang, Fulan pun menemukan arah jalan yang selama ini ia cari.
            Hari demi hari, kelihatannya Fulan semakin faham siapa itu Allah dan ia mulai bisa mendirikan sholat dengan baik. Umurnya memang sangat belia, tapi ia berbeda dari anak yang lainnya. Ia lugu, namun pemikirannya dewasa. Rangkaian cerita hidupnya yang membuat ia dewasa dengan sendirinya, yang seharusnya seorang anak kecil seumuran Fulan tak merasakan hausnya kasih sayang yang bisa ia dapatkan secara gratis dari kedua orangtua nya. Suatu hari, ia dibelikan sebuah buku oleh Neneknya. “Surga dan Neraka” judul yang sangat menarik bagi dirinya. Dimana ia bisa mengenal apa itu surga dan neraka, dan tepat dihalaman 9 ia menemukan suatu hukuman bagi orang yang tidak melaksanakan shalat. Begitu menyeramkan, dalam fikirnya. Jika di makan lahap oleh semburan api yang begitu panas. Terlintas seketika ia ingat, kedua orang tuanya selalu sibuk dengan pekerjaannya dan selalu meninggalkan shalat, bahkan mungkin tidak melaksanakannya. Tubuhnya bergetar hebat, bagaimana mungkin ia rela kedua orang yang sangat disayangnya itu dimakan hangus oleh api neraka nanti. Suatu malam nan sepi, Fulan rela tak tidur hingga terlarut malam karena ia ingin bertemu kedua orangtuanya. Tepat tengah malam tiba, gerekan garasi mobil terdengar. Fulan langsung berlari kegirangan untuk menemui keduanya. “ Maa... Pa... Fulan kangen.” Pelukan hangat itu ia bisa rasakan lagi setelah sekian lama hilang. “ Fulan, kenapa belum tidur nak?” tanya heran Mamanya. Tanpa berfikir panjang lagi, dengan kepolosannya ia melontarkan maksud mengapa ia menunggu kedua orang tuanya hingga terlarut malam. “Ma... Pa... Fulan kemarin dibelikan Nenek buku, bukunya bagus Ma. Mama mau baca? Judulnya “Surga dan Neraka”, Ma Fulan baca disitu katanya kalau orang yang selalu meninggalkan shalat akan masuk neraka. Ma.. Pa.. Fulan takut Mama Papa dimakan api neraka karena sering meninggalkan shalat.” Hanyutlah keduanya dalam haru, masih saja mereka kebingungan darimana bisa anaknya ini mengerti neraka, apa itu shalat, padahal keduanya tak pernah mengajari tentang agama sedikitpun semenjak ia dalam kandungan. Bagaimana mungkin Fulan bisa sampai begitu mengkhawatirkan keduanya, padahal mereka akui bahwasannya tak pernah sedikitpun menyentuhkan kasih sayang kedalam jiwa Fulan. Sebenarnya keduanya pun tak mau masuk kedalam dunia yang membuat jauh kepada Sang Khalik. Tapi apa boleh dikata, keadaan ini yang memaksanya. Keduanya tak mampu berkata – kata, mulutnya bagai terkunci rapat membisu.
            Tak biasanya hari begitu terik dengan cahaya yang berlomba – lomba bertumbukan untuk mencerahkan hari ini. Seperti biasa sepulang sekolah Fulan selalu menyempatkan mengunjungi Nenek tercintanya. Tak lain yaitu ingin belajar mengenai ilmu agama. “Nek, tau nggak? Tadi kebetulan guru agama Fulan diganti loh Nek, katanya ada pertukaran sementara dari yang mengajar kelas 6 ditukar untuk sementara ke kelas 3, di kelas Fulan Nek.” Tuturnya. Memang semenjak kedua orangtuanya disibukkan dengan pekerjaannya, Neneklah yang mungkin bisa dijadikan tumpuan kasih sayang kedua bagi Fulan. Rasanya tak pernah absen satu hari pun, untuk tidak menceritakan setiap kejadian yang ia alami selama disekolah. “ Oya Nek, dan Pak Guru bilang katanya shalat subuh itu spesial banget ya Nek? Katanya sampai disaksikan oleh para malaikat?” memang pengetahuan agamanya mulai begitu mendalam. Sungguh rangkaian kisah hidup yang dialaminya membuat dia menjadi special diantara temannya yang lain. Pemikirannya begitu dewasa, tak heran jika Neneknya semakin bangga memiliki cucu seperti Fulan. “Lah iya nak, dan Fulan tahu? Apalagi jika shalat subuhnya di masjid. Itu pahalanya akan berlipat – lipat.”
            Kata – kata Nenek kesayangannya itu bagai racun yang sangat manjur, tanpa membutuhkan waktu yang panjang. Pagi hari tepat setelah adzan subuh berkumandang dari sebuah masjid kecil yang berada dipojok komplek. Fulan langsung bergegas pergi ke masjid mungil itu. Seketika tubuhnya menggigil ketakutan, entah mengapa pagi ini begitu gelap, hanya dengan penerangan lampu disetiap rumah yang tak begitu memberikan cahaya bagi pejalan kaki yang melewatinya. Dari sudut jalan kecil itu ada suara hentakan tongkat kakek tua yang sedang mencoba berusaha menyusuri jalan untuk pergi ke masjid melaksanakan shalat subuh. Rasanya sangat tenang, Fulan dengan pelan – pelan mengikuti jejak kakek tua itu. Bermaksud untuk meminta perlindungan dari gelap yang menghantuinya. Kakek ini bagai seorang super hero yang turun dari langit, bahkan mungkin sangat berbeda dari super hero kebanyakan yang selalu ia lihat di televisi. Ini benar – benar superhero yang sangat Fulan idolakan lebih – lebih dari superman yang jadi idolanya semenjak ia kecil.
            Kejadian ini terus berulang, seperti sudah berucap janji, Fulan pasti mangkir di sofa depan rumah menunggu Kakek tua itu lewat dengan suara khas tongkat yang hampir rapuh termakan waktu. Tapi di pagi ini, ada keanehan yang tak biasanya terjadi. Kakek yang ditunggunya itu tak kunjung melewati rumahnya, padahal hari sudah hampir pagi, ayam pun mulai bersaut – sautan menyapa dunia. Atau mungkin Kakek itu melewati jalan lain untuk berangkat ke masjid, atau mungkin ia telat keluar rumah sehingga Kakek itu sudah lewat sejak tadi pagi? Hatinya mulai bertanya – tanya. Mana mungkin ia bisa pergi ke masjid dengan seorang diri, menerobos gelapnya pagi yang begitu mencekam. Bagaimana bisa anak yang masih belia itu menempuhya seorang diri?
            Tepat keesokan harinya saat hari libur, kedua orang tuanya tidak bekerja, mereka pun bisa berkumpul bersama dalam sebuah naungan rumah megah itu. Tak lama, tiba – tiba ada berita bahwa tetangga disamping rumah Fulan meninggal dunia. Ternyata, tak lain dan tak bukan yang meninggal itu adalah Kakek tua yang selama ini menjadi super hero subuh bagi Fulan. Begitu mendengar beritanya, Fulan langsung melompat pergi ke rumah Kakek tua itu dengan hati yang sangat hancur. Bagaimana bisa aku pergi lagi ke masjid untuk menunaikan subuh sementara Kakek ini sudah meninggalkan dunia? Hatinya begitu amat sangat merasakan kesedihan yang mendalam. Jerit tangis seorang anak yang polos dan lugu ini mewarnai rumah kediaman jenazah Kakek tua. Ayah fulan, ia merasakan suatu keanehan yang ada pada anaknya. Ia sangat tahu bahwa Kakek ini tidak ada hubungan darah sekalipun dengan keluarga Fulan, tapi mengapa Fulan merasakan duka mendalam atas meninggalnya Kakek tua ini? Dengan rasa penasaran yang menggebu – gebu, Ayahnya coba untuk mendekati Fulan sekaligus dengan maksud ingin meredakan dari tangisnya, “Nak, sudah jangan menangis lagi ya. Kita do’a kan saja semoga Kakek ini diterima oleh Allah di sisiNya, kamu yang tenang ya sayang.” Usaha untuk meredakan tangisnya tak henti – henti Ayah Fulan lakukan. Dalam suasana haru para warga yang sedang berkunjung untuk mendo’akan Kakek tua ini seketika hanyut dalam keheningan. “ Mengapa tidak Papa saja yang meninggal?” dengan kepolosan Fulan yang memecah kesunyian siang ini. Sungguh bagaimana rasanya menjadi posisi Ayah Fulan menanggapi pertanyaan anak kesayangannya itu? “ Apa maksudmu nak?” tercecah seketika hati yang tadinya utuh menjadi butiran debu yang tak ada harganya sama sekali. “ Bagaimana bisa Fulan berangkat ke masjid lagi untuk melaksanakan shalat subuh tanpa Kakek ini? Karena hanya kakek ini, Fulan bisa berlindung dari kegelapan. Mengapa bukan Papa saja yang meninggal? Karena Fulan masih ingin shalat subuh berjamaah di masjid Pa, apa Papa bisa menggantikan Kakek ini? Sementara ayah pagi buta pun telah meninggalkan Fulan sendirian di rumah karena pekerjaan.”  Seketika air mata kepiluan membuncah, bagai tersungkur kedalam lembah, ada pilu yang menderu dalam jiwa, ada ringis kecewa yang tersirat, ada sesak di dada, ada getir yang tak mungkin terucap. Banyak sederet kisah yang bertahta yang Ayah Fulan lewatkan begitu saja dengan anak tunggalnya ini, wajar saja bila kekecewaan itu mengalir begitu deras. Namun kelamnya abu kehidupan selalu saja memberikan pelajaran teruntuk diri yang merindukan syahdunya kasih sayang. Seiring waktu terus bergulir, ada setitik hasrat dalam jiwa Ayah Fulan untuk memperbaiki diri. Hijrah memang berproses, hijrah memang bermetamorfosis, membawa insan menjadi lebih baik. Tapi sayang, semuanya telah terlambat. Allah Sang Khalik mempunyai rencana yang telah dipersiapkan sejak zaman Ajjali di lauhul mahfudz. Kematian memang telah jadi suratan takdir bagi setiap nafas yang hidup.
            Gemercik sore ini kian merdu, aroma bendera kuning dari kediaman Fulan masih terendus hangat. Tak ada nanar tampak selain nanar rindu. Rindu pada sosok Ayah dan Ibu yang telah meninggalkan Fulan lebih dahulu. Mata itu menyisir dengan detail dari setiap sudut kamar Ayah Fulan, bermaksud rindu ini bisa terobati. Tak sengaja, ia temukan secarik kertas terbungkus rapih amplop spiderman dari bawah kasur Ayahnya. Bagaimana mungkin tak menarik hati ketika kelopak mata itu melihat kartun idolanya ada pada sebuah amplop. Fulan mulai mendekat, perlahan ia buka sebuah surat yang terselip didalamnya. “ Teruntuk Anakku tersayang Fulan Rahmat Ibrahim” itulah tulisan pertama yang ia lihat dalam sampul depan. Ia putar balikkan otak, berfikir dan terus berfikir, bahkan sedikit tertegun melihat surat itu ditujukan padanya.
Teruntuk Annaku tersayang : Fulan Rahmat Ibrahim
Bismillah, Assalamu’alaikum Fulan anak satu – satunya yang paling Papa sayang, ini Papa nak, entah mengapa malam ini rasanya Papa tak bisa memejamkan mata semenjak kejadian tadi, iya anakku Fulan yang sangat mendambakan super hero sang Kakek tua itu? Annaku Fulan, entah berapa dosa yang mesti Papa tebus untuk membayar kekhilafan Papa selama ini Nak, entah harus berapa kali Papa bersujud syukur memiliki anak sepertimu. Harus seberapa besryukur pula Papa memiliki istri secantik Mamamu? Sebenarnya, sedari dulu sewaktu mengetahui Mamamu mengandung, rasanya Papa ingin sekali menyebrangi samudra,bagaimanapun caranya Papa ingin menjauh dari  kenyataan pahit ini Nak. Karena tanpa diduga, Papa melakukan penistaan yang begitu keji dengan Mamamu. Kami memang salah dalam mengartikan cinta, sehingga terperangkap dalam arena syaitan pada waktu itu. Iya nak, Mamamu mengandungmu sebelum Papa menikahi Mama. Maafkan Papa dan juga Mama nak. Tapi perlu kamu ketahui, kamu tetap bisa jadi anak yang hebat bahkan lebih dari anak seumuranmu. Papa berharap kamu bisa jadi investasi kami berdua di akhirat kelak. Papa harap kamu bisa jadi hijab kami berdua dari pedihnya api neraka kelak nak.
            Fulan, kesayangan Papa satu – satunya , sebenarnya Papa pun iri, ingin sekali rasanya bisa seperti Papa yang lain, yang bisa mengantarkanmu setiap pagi ke gerbang dimana kamu menimba ilmu, membacakan dongeng sebelum kamu terlelap tidur, mengajarkan ayat – ayat Al – Qur’an untuk menjagamu dari kehidupan yang fana ini. Tapi apalah daya Papa karnea tuntutan pekerjaan, membuat semuanya itu Papa abaikan, padahal Papa sangat tau ini amat sangat sederhana tapi sangat mempengaruhi kehidupanmu nak, mempengaruhi piskismu. Papa begitu amat menyesal Nak, Papa harap kamu bisa memaafkan kekhilafan Papa.
 Anakku Fulan, perlu kamu ketahui juga spiderman satu – satunya idola super hero mu itu lebih hebat dari seorang Nabi Muhammad yang seharusnya kau lebih idolakan, bahkan Nabi Muhammad yang bisa jadi super hero kita nanti di akhirat yang akan memberikan syafaatnya. Papa sangat mendambakan Nabi Muhammad nak, jadi Papa harap kamu pun dapat menyusuri jejaknya. Dulu Papa selalu memegang teguh sunnahnya, tapi entah mengapa seketika Papa masuk dalam jurang kelamya hidup yang membuat Papa menjadi lupa akan kehidupan akhirat dan selalu mendamba – dambakan dunia. Papa tau sangat salah Nak, dan kamu jangan pernah mengikuti jejak Papa. Tapi sungguh Papa tak menyesali rangkaian cerita ini, karena rentetan kejadian ini pula yang memberikan Papa banyak pelajaran, dan Papa mendapatkan hikmah didalamnya. Sekali lagi Papa minta maaf Nak,maafkan Papa yang sudah bersalah padamu, yang menjadikanmu di dunia dengan cara yang tak direstuiNya. Tapi percayalah nak, dari lubuk hati Papa yang paling dalam, Papa selalu berusaha menjadi yang terbaik di hati anak dan istri Papa.
Nak, Papa amanat kepadamu. Jaga dirimu baik – baik, jaga hatimu, jaga imanmu. Karena itu pondasi utama yang bisa menopang kehidupanmu. Nak, banyak diluaran sana yang terlena dengan keelokan dunia, padahal hanya semu ilusi yang membutakan mata dan hati. Bertakwallah pada RabbMu Nak, Allah Azza Wajjala, mohonlah perlindunganNya selalu. Papa sangatlah yakin, kamulah yang akan menjadi jembatan penolong kami berdua di akhirat nanti, kamulah calon bidadara Allah di syurga Nak. Tetap tegakkan Agama Allah diatas segala – galanya. Papa harap kamu bisa membaca ini disaat usiamu cukup dewasa, agar kamu pun mengerti apa yang Papa maksud. Kamu segalanya bagi kami Nak. Kami sayang Fulan karena Allah. Papa sayang kamu.
Dari Papa yang selalu menyayangimu, Fulan Rahmat Ibrahim
            Terdekap eratlah surat itu oleh jari jemari mungil Fulan. Tak tersadarkan, air matanya bercucuran. Seperti ada dekapan hangat yang selama ini ia cari dalam serpihan kata dalam surat cinta Ayahnya itu. “MasyaAllah Papa, aku sungguh sangat mencintaimu Pa..” Dalam alunan denting jam dinding, hadirlah sekelebat wajah cerah Ayahnya bagai bintang jatuh yang lenyap keluar dari bingkai mata. Ada sedikit sakit yang begitu mengiris saat tahu bahwa dirinya dilahirkan dalam keadaan nista dimata Rabbnya. Tapi itu tak sedikitpun melunturkan rasa sayang Fulan kepada Ayahnya. Takdir  yang membawanya harus mengalun seperti ini. Mungkin ini juga semacam suatu isyarat yang Ayah Fulan rasakan sebelum kepergiaannya karena tragedi kecelakaan beruntun yang terjadi sore kemarin bersama Ibunya sesaat sebelum berangkat ke kantor. Fulan terus membaurkan prasangkanya. Ada tetes air mata yang mengalir karena rindu yang tertahan.
            Kini kehidupannya semakin hampa tanpa hadir sesosok Ayah dan Ibu dalam bait cerita jiwanya. Tapi keadaan ini sudah sangat biasa dirasakan Fulan, karena ia masih punya sang Nenek yang masih saja tetap setia menemani hari – harinya. Ini Nenek bukan sekedar Nenek bagi Fulan, bahkan seperti ibu kedua, kasih sayangnya sudah tak perlu diragukan lagi. Tangan keriputnya yang selalu setia meracik masakan dengan bumbu kasih sayang untuk cucu kesayangannya tak pernah bosan dilakukannya. Tutur kata rendah maupun tingginya, dan segala bentuk kasih sayang yang tak terhitung oleh jari.
            Malam ini begitu syahdu, karena ada sepotong hati yang baru ,mengiringi manisnya perjuangan Nenek yang sedang membesarkan cucunya. Sudah seperti rutinitas jika setiap malam Neneknya membacakan dongeng para Nabi, atau kisah – kisah para sahabat Nabi terdahulu.Tak hanya itu, bacaan surat – surat pendek pun selalu mengalun syahdu setiap malam mengiringi terpejamnya mata Fulan. “Nek, kemarin Fulan dengar dari guru agama Fulan, apa betul ya Nek dengan kita membacakan surah Al-Ikhlas sebanyak 10x saja kita bisa membangun istana di surga Allah?” mulut mungilnya memang semakin telaten jika membicarakan perihal agama. “ Iya sayang, nah maka dari itu kamu perbanyak membaca surah itu agar kamu bisa membuat istana di surga Allah, nanti tapi jangan lupa ajak Mama Papa juga untuk berdiam di istana Fulan, agar mereka biar bisa terhindar dari pedihnya api neraka. Fulan mau?” dengan sabarnya Nenek ini tak pernah lelah absen untuk menyuapi ilmu agama meski hanya satu kata sekalipun.
            Melodi irama waktu ini terus bergulir mengiringi kehidupan Fulan yang sekarang yatim piatu. Tapi semenjak itu pula rasanya Fulan tak pernah merasakan hausnya kasih sayang. Meski hanya ia dapat dari seorang Nenek, tapi baginya ini sudah lebih dari cukup. Kisah ini memang terus mengalir dalam pasang surut arus tanpa menemui asa yang jelas dan tiada kepastian. Tetap terkatung diujung pertahanan. Usia Nenek pun semakin hari semakin usang termakan pedihnya waktu. Untaian tangan keriputnya sudah tak mampu lagi meracik masakan kesukaannya. Keadaan sekarang sudah berbalik. Fulan yang dengan telaten mengurusi Neneknya yang semakin hari usianya beradaa diujung senja.Saat asa itu sudah tak ada lagi dipelupuk mata. Hilang terkubur sekejap mata. Tepat saat Fulan beranjak semakin dewasa, takdir sang Khalik itu menampakan kelabunya. Tak disangka tak diduga, ajal itu menjemput sang Nenek tersayang. Saat nafas itu sudah ada diujung tenggorokan, amanat itu terus bergulir dari mulut Nenek secara terbata – bata. “ Sayang, cucuku Fulan jaga dirimu baik – baik. Jaga terus imanmu terhadap Rabbmu. Jadilah kamu anak yang sholeh agar bisa jadi hijab api neraka untuk kedua orangtuamu, dan untuk Nenek. Nenek selalu menyayangimu karna Allah, Fulan. Nenek berharap surat Al-Ikhlas yang Nenek bacakan untuk yang terakhir kalinya ini bisa jadi istana kelak untuk peneduh Nenek diakhirat nanti, agar kita masih bisa bersama – sama di istana surga Allah.” Air mata itu terus bercucuran membasahi hati yang sunyi, takut kehilangan sosok Nenek hebat itu begitu sakit bagai pedang yang menghujam dada. “Nek, Nenek tidak perlu membacakan surat Al – ikhlas itu untuk membangun istana disana, cukup Fulan yang membacakannya. Izinkan Fulan mempersembahkan yang terakhir kalinya untuk Nenek. Surat Al – ikhlas beserta cinta ini Fulan khususkan untukmu wahai Nenek terhebat yang Fulan miliki. Kelak nanti kita bisa bersama di surgaNya Nek. Fulan disini akan tetapkan tegakan agama Allah seperti yang Almarhum Ayah inginkan, akan tetap menjaga hati dan iman Fulan seperti yang Nenek inginkan. Semoga Fulan benar – benar bisa menjadi investasi kelak di surgaNya, bisa menjadi seseorang yang mampu orangtua Fulan banggakan dimata Rasulullah, jadi penolong di padang mahsyar dan menjadi hijab dari api neraka.” Pelukan hangat terakhir itu bagai semilir angin yang menyejukkan jiwa yang menentramkan siapa saja yang merasakannya. Akhirnya, Nenek itu sekarang telah tentram dalam dekapan Allah di langit sana, tersenyum pula melihat Fulan cucu kesayangannya yang semakin tumbuh dewasa dan dapat hidup bahagia meski sebatang kara.