Apa
kabar wahai iman? Apa kabar wahai hati? Apa kabar wahai cinta? Semoga kau tetap
bisa istiqomah diatas agamaNya. Wahai hati, semoga kau tetap bisa mencintai
satu – satunya sumber kasih terbesar yang terpancar dalam setiap ruas – ruas
dedaunan, dan tetesan embun dalam semilir angin kedamaian, yaitu Allah Azza
Wajjala. Memang benar apa yang dikata orang, menjaga hati itu bukanlah perkara
yang mudah. Sulit, sangatlah sulit. Tapi aku sangatlah yakin, jika memang niat
itu aku pegang teguh, Allah pun akan membantunya dalam kesitiqomahan menjalankan
setiap perintah-Nya.
Rintik hujan pagi itu mengguyur
ranah ibu kota, ditemani bunga – bunga yang bermekaran menyambut para mahasiswa
baru untuk memulai kehidupan baru dengan segala macam yang baru, tentunya
dengan sepotong hati yang baru. Dengan langkah yang tertatih – tatih, ku susuri
jalanan dengan detail, tak jauh dari apartemen tempat penginapanku, kampus
kebanggaan pun sudah ada 2 jengkal didepan kelopak mata. Kampus yang telah lama
aku idam – idamkan, yang selalu menjadi bunga tidur menemani malam yang sunyi
pada waktu itu. Kampus yang selalu aku selipkan dalam setiap do’a dalam sujud
panjangku pada Rabbku. Tak masalah rasanya aku jauh dari kedua orangtua ku,
yang terpenting aku bisa mengenyam ilmu disini agar kelak bisa sukses dan
membanggakan mereka. Tak lama akhirnya kampus yang selalu aku impikan benar –
benar ada didepan mataku, sungguh rasanya berdebar jantungku, ini semacam
mimpi? Ataukah...? Allah memang benar janji-Mu. Aku sungguh rasakan keajaiban
tahajudku disetiap malam, aku rasakan keajaiban lantunan do’a dalam semilir
angin bersama dekapan kasih sayang-Mu. Benar apa yang Kau katakan bahwasannya
siapa yang meminta padaKu niscaya akan Aku kabulkan. Allah harus berapa kali
aku sujud syukur pada-Mu? Aku rekam benar detik – detik saat pertama kalinya
kakiku menginjakan pada tanah kuasa-Mu, saat mataku untuk pertama kalinya
melihat kemegahan gedung yang menjulang tinggi,mataku tak boleh absen
sedikitpun untuk menyisir pada setiap sudut – sudut ruang.
“Assalamualaikum
Khansa.” Ya namaku Siti Rabiatul Khansa. Aku lebih hangat disapa Khansa. Yang
menepuk pundaku barusan adalah teman satu jurusanku, kami memang baru saling
mengenal semenjak kemarin saat ada agenda “meet up” jurusan,panggil saja ia
Ira.Anaknya kecil mungil, perawakannya seperti anak yang baru duduk di bangku
Sekolah Dasar. Tapi jangan salah, ia sungguh hebat bagiku, jujur saja dia yang
selalu membuat aku iri karena ketaatan dia pada Rabb-Nya. Aku sangat bersyukur
bisa mengenalnya.
Tepat
hampir seminggu lamanya, kegiatan ospek aku jalani. Tak terasa, aku telah resmi
menjadi seorang mahasiswi. Aku sekarang sudah bukan remaja SMA lagi, aku
sekarang bukanlah yang dulu, aku harus ubah sifat – sifat ku, cara berfikirku,
dan bagaimana aku bertindak dalam menghadapi segala masalah. Ira, mungkin
dialah malaikat kecil tak bersayap yang Allah berikan untuku, seperti semacam
perantara bagiku untuk menemani hijrah dijalanNya. Aku coba ulurkan hijabku,
cara berpakaianku, dan pemahaman agamaku pun sekarang semakin berkembang,
semuanya memang telah berubah. Allah kado macam apalagi yang kau beri untukku
kali ini? Harus berapa kali lagi tutur kata ini mengucap syukur padaMu? Aku
sungguh sangat merasa bahagia, konon katanya memiliki sahabat shalih/ shalihah
akan membantu kita juga berikan syafaat di akhirat kelak.
Demi
memperkuat imanku lagi, aku coba ikuti berbagai kegiatan keagamaan bersama
sahabat surgaku ini. Organisasi keislaman yang lebih hangat disapa rohis pun
kami ikuti. Hari ini matahari seperti sedang menampakan senyum indahnya, terang
benderang menyinari setiap bait – bait kehidupan. Pagi itu aku sedang
disibukkan dengan program pelantikan rohis. Kami dibawa oleh kakak – kakak
pembimbing pada suatu desa kecil yang sangat jauh dari peradaban. Selama 3 hari
itu kami disuapi ilmu – ilmu agama terus menerus tiada henti. Ada yang aneh
kali ini dalam sudut mataku, sungguh aku melihat ada sekelebat sosok mahluk
yang indah jika dipandang, sungguh seperti menyejukan hamparan gurun yang
gersang. Dari sekerumunan para ikhwan disana, hanya dia yang benar – benar
berbeda diantara yang lain. Atau mugkin pancaran keshalihannya yang membuat ia
jadi berbeda? Allah, godaan macam apalagi yang Kau timpakan kepadaku? Apakah si
merah jambu ini akan mencoba datang lagi untuk menggoyahkan imanku? Hari demi
hari,entah mengapa fikiranku terus merekam dengan jelas wajahnya. Allah
siapakah hamba-Mu yang tadi hampir mencuri imanku? Penasaranku semakin menjadi
– jadi. Tak lama setelah kejadian itu, tiba – tiba aku mendapat kabar
tentangnya,entah itu kabar datangnya dari langit ataukah dari aliran sungai,
sungguh aku tak perduli. Kabarnya berkata bahwa dia ternyata teman
seperjuanganku, sedang mengenyam ilmu pada jurusan yang sama, dan kabar yang
paling aku simpan dengan jelas dalam memori otakku adalah kata “Ikhsan”. Nama
yang sungguh indah yang kucoba simpan dengan baik di gendang telingaku.
Seiring
waktu bergulir, kami para mahasiswa baru diberi tugas oleh kakak senior
UKM(Unit Kegiatan Mahasiswa) Rohis untuk mengadakan sebuah agenda yang
tujuannya adalah agar kita bisa lebih mengenal satu dengan yang lainnya dalam
UKM rohis ini. Aku bersama teman – teman pun memutuskan untuk mengadakan Rihlah(jalan
– jalan) bersama, dengan tujuan
tempatnya kami putuskan di sebuah tempat wisata Candi yang tak begitu jauh dari
kampus. Hampir sepekan lamanya kami disibukkan untuk mempersiapkan segala macam
keperluan dari mulai A sampai Z ,benar – benar kami siapkan betul, berharap
kegiatan ini bisa berjalan dengan lancar. “Ada yang bisa meluangkan waktu sore
ini nggak? Terutama akhwat, kita akan survei mengenai lalu lintas jalan menuju
candi, denger – denger katanya jalannya tidak cukup bersahabat,apalagi jika
dilalui oleh para akhwat menggunakan kendaraan bermotor, itu cukup rawan.”
Ketua kegiatan agenda kali ini memang sangat detail, sampai kepada hal terkecil
pun ia fikirkan dengan matang. Denting waktu terus berputar, namun tidak ada
seorang pun yang memberi tanggapan. Akhirnya aku coba untuk mengajukan diri
bersama temanku, Sabila.
Kami
berucap janji untuk bertemu nanti sore di kampus untuk berangkat bersama
melakukan survei. Seperti suatu pertanda entah semacam firasat, sore itu
semilir angin begitu menyejukkan, ditemani kicauan burung pada pepohonan yang
meramaikan sepi ilusi yang merona. Tak salah lagi, mataku melihat menampakan
yang sama seperti seminggu yang lalu, sosok mahluk yang menyejukkan itu
melintas lagi melewati lorong – lorong hati. Siapa lagi kalau bukan Ikhsan.
Ikhsan lah yang akan menemani untuk memimpin perjalanan kami ke candi pada
waktu itu. Tak bisa aku pungkiri, rasanya seperti mendapatkan seonggok berlian.
Bahagia? Mungkin terlampau bahagia. Tak lama hanya menempuh perjalanan 1 jam,
akhirnya kami tiba ditempat. Subhanallah jalanan kesana memang sungguh sangat
mengkhawatirkan. Apa tidak ada niatan sedikitpun pemerintahan untuk membenarkan
jalanan menuju candi? Padahal ini merupakan salah satu investasi daerah yang
perlu dilestarikan. Entahlah apa alasan kuatnya, aku kurang faham benar. Moment
– moment pada sore itu mungkin tak akan mungkin aku lupakan sampai kapanpun.
Hingga tak terasa hingga larut malam kami bercengkrama sembari menikmati makan
malam. Sungguh tutur katanya selalu diselingi dengan ayat – ayat Allah, hadist
pun tak lupa selalu ia selipkan dalam setiap ucapannya. MashaaAllah kekagumanku
semakin menjadi – jadi. Ini semacam suratan takdir entah apa, lama kelamaan setelah
agenda rihlah itu, kami pun membuat semacam suatu persahabatan, tujuannya
memang hanya sebagai wadah kita untuk berdiskusi tentang ilmu agama. Kami beri
titel “sahabat surga”. Kemanapun pasti formasi selalu lengkap berlima. Sahabat
surga itu didalamnya ada aku,Ira,Sabila,Ikhsan,dan sang ketua kegiatan agenda
rihlah kemarin, namanya Ridwan. Sebut saja kami para pemburu kajian, dimanapun
itu pasti selalu kami datangi. Kami dengan 5 watak yang berbeda, dan tentunya
saling melengkapi mungkin sengaja Allah satukan untuk menemani kita bersama –
sama istiqamah dijalan-Nya. Aku berjanji pada Rabbku, tak akan aku lepaskan
mereka sahabat – sahabat hebatku, karena hanya bermain dengan merekalah, agenda
bermainku jadi berkualitas. Iya karena mereka selalu saja menyelipkan ilmu –
ilmu agama disela – sela perbincangan kami. Merekalah yang selalu mengingatkan
jikalau aku melakukan kesalahan.
Tapi
disisi lain sebenarnya aku merasakan pilu yang menderu. Bagaimana bisa rasa
nista ini terus menjadi – jadi? Sementara Ikhsan adalah sahabatku sendiri?
Bagaimana bisa jiwa yang kotor ini menyimpan rasa yang tak harusnya ada? Allah
aku takut ini jadi suatu fitnah yang keji. Mencintai salah satu mahluk-Mu, aku
sangat takut rasa cinta ini melebihi rasa cinta pada-Mu.
Derasnya
hujan mengguyur hati yang tersipu malu pada sudut – sudut cinta yang terus
merona. Kami formasi lengkap sahabat surga sedang sibuk bercengkrama berdiskusi
perihal jadwal kajian yang akan kami kunjungi pekan ini. Entah ini faktor cuaca
atau memang aku yang tak bisa menjaga kebugaran tubuh, aku hanya bisa berdiam
di pojok kursi dibungkus oleh jaket gunung yang tebal, karena kondisi tubuhku
yang kurang baik, aku tidak begitu larut dalam perbincangan mereka. “Khansa,
mau aku belikan vitamin?” tanya Ikhsan. Seketika rasa ini membuncah, debar
jantungpun sudah meloncat ke pagar depan apartemen. Aku sangatlah tahu, karena
hanya Ikhsanlah yang selalu memberikan perhatiannya jika ada salah satu dari
kami yang sakit, entah itu sedang ada masalah atau yang lainnya. Allah tapi
mengapa hati ini begitu merasa dispecialkan olehnya? Padahal ia pun melakukan
hal yang sama pada temanku yang lain. Sebenarnya ini bukan sekali atau kedua
kalinya ia lemparkan perhatian untukku. Dulu masih saja aku ingat, ketika aku
dilarang memakan eskrim kesukaanku saat aku sedang terkena flu, ketika aku
diberi jaket saat kajian malam itu karena kondisi tubuhku sedang kurang fit,
ketika eskrim itu ia antarkan khusus untuku saat aku sudah benar – benar sembuh
dari sakitku, ketika ia selalu menyuruhku untuk mulai menyukai sayur – sayuran,
karna ia hafal betul aku sering sakit – sakitan karena aku tidak menyukai
makanan yang bergizi. Dan karena kata – kata ia pula seketika aku jadi menyukai
sayur, padahal sedari dulu itu selalu jadi musuh bebuyutanku. Benar – benar dia
telah mengubah hidupku. Apa mungkin bisa jadi diapun memiliki rasa yang sama
padaku ,wahai Rabbku? Karena sungguh dari setiap tingkah laku dia padaku
berbeda. Ah, fikiranku semakin kacau tak tentu arah.
Untukmu
yang selalu ada dihatiku,yang mengisi pikiranku disiang dan malamku,yang selalu
kusebut namamu dalam do’a dan sujudku, yang selalu aku ceritakan kepada Rabbku.
Digelap dan sunyinya malam kuterbangun dari tidurku,ditemani derasnya hujan yang
menemani malamku,kuambil wudhu dan bersegera bertemu dengan Rabbku. Ku bisikkan
semua pada-Nya,termasuk tentangmu,tentangmu yang membuat hidupku seolah
berubah, yang membuatku merasa lebih dekat dengan Rabbku, tentangmu yang tak
bisa lepas dari bayang – bayangku, dalam – dalam aku merunduk dan berdo’a.
“Wahai
Rabb Kau telah menakdirkan ini, kau pertemukan aku dengan seseorang yang ketika
melihatnya bahagia hati ini, sejuk hati ini, seolah menyihir diri ini. Tapi
Astagfirullah mungkin aku terlalu berlebihan memujinya. Tapi jika boleh jujur
memang itu yang kurasakan tentangnya saat ini.”
“Allah
Wahai Rabbku. Kumohon jagalah hati ini agar tidak salah menempatkan cinta,
biarkan hati ini mencintai-Mu melebihi cinta ini kepada mahlukMu, dan
istiqamahkan diri ini untuk tetap tegar sendiri menjalani hidup ini.”
“Wahai
Rabb lewat air mata ini, lewat do’a ini ,lewat derasnya hujan ini,kusampaikan
cinta dan rinduku untuknya. Jaga ia, dan kalau kuboleh minta, aku ingin disandingkan
bersamanya di dunia dan bahagia di surga-Mu.” Dan untukmu, aku mencintaimu
karena agama dan ketaatanmu pada Rabbmu. Maka ketika agama dan ketaatanmu pada
Rabbmu hilang, maka hilang pulalah kecintaanku padamu.
Aku
tahu, ini memang fitrah yang diberi oleh-Nya. Tapi bagaimanapun caranya aku
harus bisa memendam rasa ini, jangan biarkan satu orang pun mengetahuinya,
biarlah ini jadi rahasia terbesarku dengan Rabbku. Karena aku tahu, cinta ada
bukan untuk diumbar. Biar aku selipkan saja namamu dalam setiap lantunan syahdu
do’a yang selalu aku terbangkan ke langit sana.
Tampaknya
sahabat – sahabat surgaku mulai merasakan hal yang aneh dalam diriku. Yang
secara tiba – tiba aku selalu kegirangan jikalau Ikhsan melakukan hal – hal
yang konyol yang membuat aku bahagia. Melihat tingkah laku ikhsan yang selalu
membedakan cara bersikap ketika berhadapan denganku dibandingkan saat bersama
yang lain. Mungkin mereka pun semakin lama semakin mengerti apa yang aku
rasakan sejak saat itu. Tapi mereka memilih untuk bungkam, seolah – olah tak
ada apa – apa diantara aku dengan Ikhsan. Salah satu sahabatku, Ridwan. Dia
memang satu – satunya dari formasi 5 kami yang selalu jadi tempat memuntahkan
rasa kecewa,sedih,susah,senang yang dibungkus dalam suatu wadah yang ia simpan
kemudian ia proses agar mendapatkan output saran dari masalah yang kami alami.
Tak biasanya, ia coba mendekatiku bermaksud untuk mengorek perasaanku pada
Ikhsan selama ini.
“Khansa,
aku tahu cinta itu fitrah. Tapi aku mohon kamu jangan terlalu menggantungkan
harapan pada selain Allah, karena sungguh itu akan membuatmu sakit.” Aku tak
mengerti apa yang ia katakan, aku coba paksakan otakku untuk mencernanya. “ Aku
janji aku tak akan memberitahu rahasia besar ini pada siapapun, jujur padaku
Khansa. Apa benar kamu menyimpan sedikit harap pada Ikhsan?” Benar memang
seperti dugaanku, mereka pun menyadarinya, hanya saja mereka selalu bungkam
selama ini. Sunyi mencekam rasanya seketika mulutku seperti ada kunci paten
yang menguncinya rapat – rapat. “Kemarin sore, entah mengapa Ikhsan datang ke
apartemenku. Tujuannya sih katanya hanya ingin mengisi waktu luangnya. Tapi disela – sela itu, ia
menceritakan masa lalunya padaku, padahal sungguh aku tak memintanya. Kau tahu
Khansa? Aku sangat kaget mengetahui bahwa Ikhsan dulu pernah menjalin sebuah
ikatan bernama pacaran, ya bersama salah satu perempuan di Kota sebrang sana.
Katanya sih ia sudah menjalin hubungannya sejak ia duduk di bangku SMP, hingga
berakhir 3 tahun lamanya. Dan yang aku tak mengertinya, perempuan itu berbeda
agama dengan kita .Padahal sudah jelas aturan agama kita melarangnya, tapi aku
percaya mungkin dulu ia masih belum faham mengenai ilmu agama sejauh ini. Oya,
kabarnya dia juga masih menyimpan sejuta harapan yang besar pada perempuan itu.
Ia akan menunggunya sampai Allah memberikan hidayah padanya, agar ia bisa
bahagia berdua dalam naungan Islam yang indah. Baik sih mungkin niatan dia,
tapi bukannya?.....”
Seketika
jerit pilu itu mulai menderu. Sakit yang mengiris bagai luka disiram air garam
seketika menghujam tubuhku. Bagaimana bisa aku berharap pada seseorang yang ia
pun mengharapkan orang lain untuk hidupnya? Dugaanku bahwa dia punya rasa yang
sama pun itu salah besar. Bagaimana mungkin aku bisa sejauh ini untuk
menyimpulkan bahwa dengan sikap – sikap manis yang selalu ia lakukan untukku,
itu berarti pertanda rasa tertarik? Astagfirullah. Ia menawariku vitamin pada
waktu itu, karena sudah sewajarnya sesama muslim untuk saling tolong menolong.
Mungkin ia hanya ingin menolongku saja. Tidak ada yang special. Ia meminjamkan
jaket untukku karena tak ingin melihat sahabatnya sakit. karena sahabat itu
bagaikan anggota tubuh yang saling berhubungan. Jika ada salah satu yang sakit,
bagian yang lainnya pun akan merasakan sakit yang sama. Itu wajar, dan tidak
ada yang special.
Allah
apa ini semacam teguran untukku? Untuk tidak mencintai salah satu hamba-Mu
melebihi cinta pada-Mu? Benar, sungguh benar adanya apa yang dikatakan Ridwan
barusan. Jika kita menggantungkan harapan pada selain Allah, akhir – akhirnya
hanya akan mendapatkan sakit. Bagaimana bisa laki – laki yang selalu aku
harapkan, selalu aku selipkan dalam setiap do’aku berharap ia bisa menjadi
imamku kelak yang bisa membimbingku kedalam surga-Mu pun mengharapkan hal yang
sama kepada perempuan lain?
Allah
aku tahu. Cinta ini indah, tapi...? ya Allah tapi sungguh aku sangat bersyukur mengetahui
ini semua. Ketika aku terlalu berharap pada seseorang maka Engkau timpakan
kepadaku pedihnya sebuah pengharapan, supaya aku mengetahui bahwasannya Engkau
sangat mencemburui hati yang berharap pada selainMu. Mungkin maka dari itu pula
Engkau menghalangiku dari perkara tersebut agar aku bisa kembali berharap pada-Mu.
Jika memang tadinya aku berfikir bahwa cinta itu bisa patah, lalu bagaimana aku
bisa mengerti cinta Allah? Astagfirullah maafkan diri ini yang selalu khilaf.
Ampuni aku wahai Rabbku. Karena sampai detik ini aku masih menyimpan sebuah
rasa cinta pada salah satu hamba-Mu. Jika memang rasa cinta ini membuatku jauh
dari-Mu, maka hilangkanlah. Aku mohon pertemukan aku dengan orang yang
mencintai-Mu diatas segalanya. Izinkan aku seindah melati yang indahnya bukan
untuk semua lelaki tapi berlian untuk yang bertahta suami. Dan jika memang dia
tidak baik untuk dunia dan akhiratku, aku berharap ia bisa di persatukan dalam
ikatan persahabatan Illahi bersamaku.
Anggap
saja rangkaian ceritaku bersama Ikhsan sebagai bumbu persahabatan kami. Dengan
bergulirnya denting waktu, aku berusaha terus untuk mencairkan perasaan yang seharusnya
tak pernah ada dan tak pernah aku rasakan, aku usahakan rindu ini kutikam
ketika ia selalu datang menggoda imanku. Aku tahu ini sangat sulit aku lakukan,
tapi dengan niatan tekad yang kuat, tiada yang tak mungkin. Ira, malaikat
kecilku satu – satunya yang selalu membantuku untuk tetap mengistiqamahkan
segenap cintaku, untuk aku kembalikan pada satu – satunya Dzat pemberi nikmat
yang tiada tara, Allah Azza Wajjala.
Tak
dapat dipungkiri dan dimengerti. Ternyata tak hanya padaku si manis merah muda
ini berusaha datang dan menggoda pada setiap hati , berusaha untuk menggoyahkan
iman. Tak kusangka, kali ini ia menghampiri salah satu sahabatku juga. Salah
satu member dari sahabat surgaku. Ia yang selalu bicara mengenai cinta. Siapa
lagi jikalau bukan Ridwan. Siang itu, mentari begitu terik, kehangatannya
menyapa daun – daun yang berguguran. Berusaha untuk mencuri momen – momen saat
kebersamaan kami, saat sahabat surga kali itu selesai mengadakan kegiatan
belajar bersama. Ridwan mencoba mendekatiku, dan ternyata tak lain dan tak
bukan ia bermaksud ingin mencurahkan rasa yang selama ini menghantui jiwa dan
hatinya. Subhanallah, Allah mengapa kau biarkan virus merah muda ini terus
merajalela bersemayam pada sahabat – sahabatku? Tak habis fikir, ternyata
Ridwan menyimpan benih – benih cinta pada Ira. Cerita ini terus beruntun.
Cerita ini ternyata belum mati, hanya saja ia sedang bermutasi. Dan entah kapan
ia akan berakhir? Terus terkatung – katung dalam bait – bait figura pertahanan.
Bagaimana bisa Ridwan menyimpan rasa pada salah satu sahabatnya sendiri? Pantas
saja ada suatu keanehan saat kemarin Ira sempat dirawat di salah satu klinik
dekat kampus, Ridwan datang dengan seorang diri tanpa mengajak kami. Ya, itu
sangat hal yang tak lumrah yang pernah Ridwan lakukan selama bersahabat dengan
kami. Padahal ia yang selalu berkoar – koar disetiap kesempatan apapun itu kita
selalu sepakat untuk tetap berlima.
Wahai
cinta, kau memang bisa mengubah segalanya menjadi indah. Kau begitu
menentramkan, lagi menyejukkan. Cinta yang seketika tumbuh pada gurun gersang
yang menyejukkan setiap pepohonan,
membaurkan semerbak bau yang menghangatkan setiap figur mata memandang. Tapi
apalah daya jika cinta ini bukanlah cinta yang halal? Takut hanya nafsu semata
yang menjadi bumbu rasa ini. Astagfirullah. Begitu lama hati ini memendam suatu
rasa kagum pada sesosok Ikhsan, dan entah lama akan berakhir. Begitu pun dengan
Ridwan yang sedang berjuang menikam rasa yang terus menggebu pada salah satu
sahabat surga, Ira.
Pagi
ini begitu kelabu, awan dengan enggan untuk menampakkan diri, matahari pun
memilih untuk diam disudut langit sana. Entah akan sampai kapan musim penghujan
ini mewarnai ranah ibu kota. Guyuran hujan pun turut serta membasahi hati yang
pilu. Tepat hari ini adalah hari kelahiranku. Hari ini pula aku genap berusia
18 tahun. Tapi mengapa tak ada yang special sama sekali pada hari itu? Padahal
anganku telah membayangkan teman – teman mengucap do’a – do’a kebaikan untukku.
Sahabat surgaku pun tak ada yang ingat satu orang pun. Subhanallah entah
mengapa rasanya begitu sakit. Mereka lupa ataukah mereka memang tak perduli? Keesokan harinya beruntun, Ira malaikat
kecilku pun genap 18 tahun. Wajar saja kita dijuluki kakak adik bersaudara.
Kelahiran kami hanya berbeda beberapa jam saja. Kita memang bukan asli yang
dilahirkan dari kedua orangtua yang sama, kita juga bukan kakak beradik tulen
yang sering mereka lontarkan kepada kami. Tapi InshaAllah, kasih sayang kami
jangan diragukan lagi. Kita saling mendukung layaknya kakak beradik yang
sesungguhnya. Denting waktu terus berputar, dan hingga saat ini pula tidak ada
yang mengucapkan do’a – do’a bagi kami. Malam itu, Ira akan menginap di
apartemenku, karena kami berencana akan mengadakan syukuran kecil – kecilan karena
bertambahnya usia kami. Tak disangka, para sahabat – sahabat surgaku seketika
menyergap kami berdua di apartemen. Dan benar – benar seperti mendapat seonggok
berlian dari jalanan nan sepi. Tak diduga mereka memberikan kejutan yang begitu
mengesankan bagi kami berdua. Ah, begitu senangnya memiliki sahabat seperti
mereka. Sekotak bolu ulang tahun kecil pun ada di hadapan kami berdua, ditemani
beberapa bungkus kado yang begitu indah. “Khansa, ini sedikit pemberian dariku,
dan ini pemberian dari kami bertiga.” Ikhsan seketika mencoba memecah haru
dalam malam yang begitu indah. MashaAllah bagaimana bisa ia merencanakan ini
semua? Kado ini khusus untukku darinya? Rasa bahagia itu seketika membuncah
lagi. Senang? Haru? Sedih? Iya, aku sangat terlampau bahagia diberikan
sebungkus kado special dari sesosok mahluk yang menurut hatiku juga special.
Tapi disisi lain aku merasakan kesedihan yang mendalam, karena aku harus
menikam lagi rasa yang seketika muncul kembali dari sela-sela aliran darah yang
menghangatkan tubuh. Cukup! Ini tidak ada yang special. Ia memberiku hadiah
karena merasa akulah sahabat terdekatnya dibandingkan yang lain. Tidak perlu
merasa terlalu bahagia, ini hanya bingkisan kado yang didalamnya terdapat
sayang yang tulus dari sesosok sahabat hebat dalam hidupku. Tak kalah, Ira pun
mendapat bingkisan kado dari Ridwan. Tapi tak ada rasa yang mengherankan bagi
dirinya, karena Ira pun berfikiran ini adalah hal lumrah. Wajar, sangatlah
wajar. Karena Ridwanlah yang selalu mendengarkan keluh kesah Ira setiap hari,
ia hafal betul bahwa dengan Ridwan lah ia paling dekat diantara kami.
Dengan
jantung yang berdebar, hati yang tersenyum, perlahan kucoba membuka perlahan
sebuah bingkisan kado yang begitu indah, yang begitu memanjakkan mata jika
dilihat. Sudah kuduga, isinya pun tak kalah indah. Selembar kerudung biru,
mataku terbelalak. Bagaimana ia tahu jika aku juga menyukai aroma – aroma biru?
MashaAllah. Terimakasih atas kebahagiaan yang tiada tara untuk malam ini
Rabbku. Malam yang begitu indah bak permadani di surga sana.
“Assalamu’alaikum
Ira, sahabat surga telah menunggu di apartemenku. Kamu segera kesini ya? Jangan
lupa juga bawa perbekalan yang telah direncanakan kemarin. Kami tunggu ya
ukhti. Wassalamu’alaikum” dering telepon itu akhirnya berakhir pada
perbincangan. Memang Ira lah yang selalu tertinggal disetiap momen yang akan kami
lalui. Hari ini, sahabat surga memiliki agenda untuk mengadakan bakti sosial
pada salah satu panti asuhan yang tak cukup jauh dari kampus. Kami memang benar
– benar ingin mewujudkan dengan nyata, visi misi dari awal adalah menjadi
sahabat surga yang kelak bisa tarik menarik menuju surga-Nya, maka dari itu tak
bosan kami menebarkan beni – benih kebaikan dalam setiap hembusan nafas ini.
Tak heran jika kami selalu merencanakan kegiatan – kegiatan yang positif. Kali
ini Sabila yang akan memimpin jalannya acara kami. Anak yang penampilannya
berbeda dari kami. Ia memang seperti memiliki jiwa seperti lelaki, tetapi
hatinya begitu perempuan, lembut selembut sutra yang bergelantung dipepohonan.
Waktu
membuat kita kian beranjak dewasa. Sederet kisah kasih yang terjalin begitu
lama yang akan membekas dihati sampai kapanpun telah terukir manis dalam
fikiran. Berbagai badai yang menempa telah kami tepis bersama. Segala
perjuangan hingga titik darah penghabisan telah kami lewati bersama. Akhirnya
gelar sarjana itu kami peroleh dengan waktu yang sama, tetap dalam 5 formasi.
Kicauan burung itu turut mengiringi kebahagiaan para wisudawan yang telah
sukses menempuh pendidikan 4 tahun lamanya. Keringat itu terbayar sudah dengan
toga kebanggaan. Tapi entah mengapa dalam kebahagiaan ini terselip sedikit haru
yang begitu mendalam. Ini mimpi terburuk disepanjang sejarah hidupku. Berpisah
dengan sahabat – sahabat yang begitu hebat, harus meninggalkan beribu – ribu
untaian kasih sayang yang telah kami rangkai bersama. Allah rasanya ini begitu
sulit. Aku takut diluaran sana tak kudapatkan lagi orang – orang yang bisa
menyayangiku begitu tulus. Siapa lagi yang akan mengingatkanku melaksanakan
dhuha jikalau aku lalai? Mengajakku selalu menunaikan shalat 5 waktu dimasjid?
Memburu berbagai kajian bersama? Allah rasanya ini cukup sakit.
**
Sebiru hari ini..
Birunya bagai langit terang benderang
Sebiru
hari kita bersama disini..
Seindah
hari ini..
Indahnya
bak permadani surga
Seindah
hati kita walau kita kan terpisah
**
bukankah hati kita telah menyatu
Dalam
tali kisah persahabatan Illahi
Pegang
erat tangan kita terakhir kalinya
Hapus
air mata meski kita kan terpisah
**Selamat
jalan teman tetaplah berjuang
Semoga
kita bertemu kembali
Kenang
masa indah kita
Sebiru
hari ini...
Hanyut
sudahlah ketika Ikhsan membawakan sepenggal lagu kesukaan kami berlima. Lagu
yang selalu menemani kebersamaan kisah ini. “Sebiru Hari Ini” lagu dari
edcoustic yang begitu menyayat hati jikalau kami ingat detik – detik setiap
momen yang selalu dilalui bersama. 4 tahun bagai 4 detik, memang sulit rasanya
memaksa hati untuk menerima kenyataan pahit jika harus tak bersama lagi. Setiap
pertemuan selalu diiringi perpisahan. Tapi yakinlah bahwasannya perpisahan ini
adalah pintu gerbang kesuksesan kami kelak. Ikhsan dengan hati yang menggebu
tak sabar menginjakkan kaki ke Qairo untuk melanjutkan S2 nya, begitupun aku
yang akan datang ke Negeri Paman Sam. Ridwan, Ira, dan Sabila yang kebetulan
mendapat rezeki beasiswa pada Negeri yang sama, Negeri Kincir Angin yang
menjanjikan kehidupan mereka diatas awan. Kita memang melangkahkan kaki dengan
arah yang berbeda, tetapi tujuan kita sama. Biarkan titel “sahabat surga” ini
tetap membekas dalam jiwa, biarkan gedung megah itu jadi saksi bisu kisah persahabatan
kami sampai kapanpun. Perkara rasa yang masih tersirat kepada Ikhsan? Bagaimana
nasibnya ia? Rasa yang selalu meluluhlantahkan jiwa yang sepi. Bagaimana bisa
aku menjalani hari – hariku tanpa Ikhsan? Entahlah... ini mungkin salah satu
cara Allah agar aku bisa sedikit demi sedikit melupakannya, dan tetap istiqamah
mempersembahkan cinta ini hanya untuk
Nya. Percaya saja, jikalau memang ia jodohku, Allah mempunyai beribu
cara untuk mempertemukan kami kelak entah dimana dan kapan waktunya. Aku disini
hanya berusaha untuk ikhlas. Aku pasrahkan pada skenario yang sudah Allah tulis
untukku diatas langit sana.