Selasa, 19 Januari 2016

Bumbu Cinta Al-Ikhlas Untuk Nenek


Bumbu Cinta Al – Ikhlas Untuk Nenek
Senja sore ini angin menyeruak begitu kencang, air bercucuran mengiringi kepedihan di ranah ibu kota. Dengan langkah yang tertatih – tatih seorang anak menyusuri jalanan hingga matahari terbenam. Ya, seorang anak yang begitu mendambakan kasih sayang kedua orang tuanya. Pikirnya, hanya satu-satunya cara agar  dia bisa mendapatkan kasih yang begitu tulus dari orang tuanya adalah menemui Tuhan. Hanya dengan cara itu, ia bisa meminta pada Tuhan agar ia bisa seperti teman – teman yang lain, merasakan dekapan hangat orang tua yang selalu ia rindu. Namun itu hanya khayalan belaka, karena ia tau kedua orang tuanya selalu sibuk memikirkan pekerjaan.Mana mungkin keduanya bisa mengingat bagaimana rasanya seorang anak kecil yang sangat merindukan dekapan hangat mereka.
            “Tuhan? Siapakah dia? Harus kemanakah aku mencarinya?” Angan – angannya kembali tercecah – cecah. Bagaimana bisa seorang anak kecil lugu nan polos dengan usia yang sangat belia harus memahami siapakah Tuhannya. Sekelibat bayangan terlintas dalam fikiranya bersama rintik hujan pada sore itu. Begitu detail rekamannya terlintas jelas dalam angannya, bahwa pada suatu hari ketika ia pulang sekolah, ia melihat rombongan jenazah melintas di pagar rumahnya. Dan orang – orang bilang bahwa hanya dengan meninggal kita bisa bertemu dengan Tuhan. Keesokan harinya, ia langsung menghampiri Neneknya di sebuah gubuk yang memang tak jauh dari rumahnya. Bermaksud untuk menanyakan suatu hal yang selama ini ia fikirkan. “Assalamu’alaikum Nek.” sambil mencoba mengetuk pintu yang hampir rapuh termakan lapuknya usia. “ Ini Fulan Nek.” Ya, seorang anak yang lugu nan polos ini bernama Fulan Rahmat Ibrahim. Yang lebih hangat disapa Fulan. Umurnya yang begitu belia, ia baru saja mengenyam pendidikan Sekolah Dasar tepatnya ia duduk di bangku kelas 3.“Nek Fulan mau nanya boleh?Nek memangnya kalau kita mau ketemu Tuhan kita perlu meninggal dulu ya Nek? Fulan mau banget Nek ketemu Tuhan. Bantu Fulan untuk meninggal sekarang juga.” Tersentak Nenek heran mendengar ucapan cucu kesayangannya itu. “ Fulan sayang mau ketemu Tuhan?” dengan kata yang terbata – bata karena masih memikirkan saja sikap cucunya yang sangat aneh. “ Ia Nek, Fulan mau ketemu Tuhan, Fulan mau minta sama Tuhan agar Fulan bisa seperti teman – teman yang lain Nek. Yang bisa setiap pagi diantar sekolah oleh Papanya, yang setiap sebelum tidur bisa diberi dongeng oleh Mamanya, yang bisa merasakan pelukan Mama Papa setiap harinya Nek. Kenapa ya Mama Papa Fulan selalu sibuk dengan pekerjaannya Nek? Apa emang mereka enggak sayang sama Fulan?” MashaaAllah, mendengar pinta cucunya itu, Nenek langsung mendekap erat tubuh mungilnya. “Bagaimana bisa aku menggantikan  peran keduanya, sementara aku sangat tahu bahwa kasih sayang kedua orang tua itu tidak akan pernah tergantikan? Bahkan tak bisa dibeli dengan seonggok berlian sekalipun.” Pecah air mata keduanya. Seolah – olah dunia ini memang telah kehilangan suatu sumber kasih sayang yang sangat begitu didambakan oleh seorang anak yang haus merasakan kasih yang terpancar tulus dari orangtua. “ Fulan tahu? Nenek punya cara lain untuk bertemu Tuhan.” Mendengar itu, ia merasa mendapat setitik celah cahaya dari legamnya kegelapan yang selama ini ia susuri. “ Cara apa Nek? Fulan ingin tahu.”  Rasanya ingin sekali ia segera tahu dan melaksanakan caranya itu. “ Fulan, cucu kesayangan Nenek, dengan kita mendirikan Sholat, dan berdo’a kepada Allah, kita bisa bertemu dengan Allah secara tidak langsung.” Ditemani kicauan burung pada pagi itu, dan semerbak embun yang masih hangat menyapa hati yang sedang bergejolak. Bergumam, terus ia paksakan otaknya untuk mencerna kata – kata Neneknya yang barusan di lontarkan. “Sholat?Allah? Itu apa Nek?”
            Sakit, rasanya hati Nenek ini teriris bagai luka yang tersiram air garam. Sungguh hebat rasa bersalahnya mulai menghantui jiwa. Bagaimana mungkin ketika teringat kisah masa lalu anaknya yang begitu kelam. Hamil diluar nikah memang aib yang begitu keji, jangankan dimata manusia, di mata Allah pun itu telah digolongkan pada dosa besar. Caci maki sudah menjadi santapan Nenek  setiap harinya pada masa itu. Penyesalan memang tak pernah datang diawal, benar adanya karena Nenek tahu ia tak bisa mendidik anaknya dengan baik. Benar apa yang dikata orang. Ajaran agama itu sangat penting untuk menjadi pondasi yang kokoh bagi seorang anak. Bagaimana bisa Nenek itu terima jikalau cerita masa lalu anaknya akan dialami pula oleh cucunya? Begitu miris rasanya ketika tahu, cucunya tidak pernah diperkenalkan dengan Ilmu Agama hingga detik ini. Apa ini semacam hukuman kehidupan yang berantai yang harus dialami oleh serentet kisah cerita keluarga kecil ini. “Fulan sayang, mulai besok Nenek ajari kamu sholat ya. Nenek janji, bantu Fulan untuk ketemu Tuhan.” Lorong hati gelap yang seketika disinari cahaya terang benderang, Fulan pun menemukan arah jalan yang selama ini ia cari.
            Hari demi hari, kelihatannya Fulan semakin faham siapa itu Allah dan ia mulai bisa mendirikan sholat dengan baik. Umurnya memang sangat belia, tapi ia berbeda dari anak yang lainnya. Ia lugu, namun pemikirannya dewasa. Rangkaian cerita hidupnya yang membuat ia dewasa dengan sendirinya, yang seharusnya seorang anak kecil seumuran Fulan tak merasakan hausnya kasih sayang yang bisa ia dapatkan secara gratis dari kedua orangtua nya. Suatu hari, ia dibelikan sebuah buku oleh Neneknya. “Surga dan Neraka” judul yang sangat menarik bagi dirinya. Dimana ia bisa mengenal apa itu surga dan neraka, dan tepat dihalaman 9 ia menemukan suatu hukuman bagi orang yang tidak melaksanakan shalat. Begitu menyeramkan, dalam fikirnya. Jika di makan lahap oleh semburan api yang begitu panas. Terlintas seketika ia ingat, kedua orang tuanya selalu sibuk dengan pekerjaannya dan selalu meninggalkan shalat, bahkan mungkin tidak melaksanakannya. Tubuhnya bergetar hebat, bagaimana mungkin ia rela kedua orang yang sangat disayangnya itu dimakan hangus oleh api neraka nanti. Suatu malam nan sepi, Fulan rela tak tidur hingga terlarut malam karena ia ingin bertemu kedua orangtuanya. Tepat tengah malam tiba, gerekan garasi mobil terdengar. Fulan langsung berlari kegirangan untuk menemui keduanya. “ Maa... Pa... Fulan kangen.” Pelukan hangat itu ia bisa rasakan lagi setelah sekian lama hilang. “ Fulan, kenapa belum tidur nak?” tanya heran Mamanya. Tanpa berfikir panjang lagi, dengan kepolosannya ia melontarkan maksud mengapa ia menunggu kedua orang tuanya hingga terlarut malam. “Ma... Pa... Fulan kemarin dibelikan Nenek buku, bukunya bagus Ma. Mama mau baca? Judulnya “Surga dan Neraka”, Ma Fulan baca disitu katanya kalau orang yang selalu meninggalkan shalat akan masuk neraka. Ma.. Pa.. Fulan takut Mama Papa dimakan api neraka karena sering meninggalkan shalat.” Hanyutlah keduanya dalam haru, masih saja mereka kebingungan darimana bisa anaknya ini mengerti neraka, apa itu shalat, padahal keduanya tak pernah mengajari tentang agama sedikitpun semenjak ia dalam kandungan. Bagaimana mungkin Fulan bisa sampai begitu mengkhawatirkan keduanya, padahal mereka akui bahwasannya tak pernah sedikitpun menyentuhkan kasih sayang kedalam jiwa Fulan. Sebenarnya keduanya pun tak mau masuk kedalam dunia yang membuat jauh kepada Sang Khalik. Tapi apa boleh dikata, keadaan ini yang memaksanya. Keduanya tak mampu berkata – kata, mulutnya bagai terkunci rapat membisu.
            Tak biasanya hari begitu terik dengan cahaya yang berlomba – lomba bertumbukan untuk mencerahkan hari ini. Seperti biasa sepulang sekolah Fulan selalu menyempatkan mengunjungi Nenek tercintanya. Tak lain yaitu ingin belajar mengenai ilmu agama. “Nek, tau nggak? Tadi kebetulan guru agama Fulan diganti loh Nek, katanya ada pertukaran sementara dari yang mengajar kelas 6 ditukar untuk sementara ke kelas 3, di kelas Fulan Nek.” Tuturnya. Memang semenjak kedua orangtuanya disibukkan dengan pekerjaannya, Neneklah yang mungkin bisa dijadikan tumpuan kasih sayang kedua bagi Fulan. Rasanya tak pernah absen satu hari pun, untuk tidak menceritakan setiap kejadian yang ia alami selama disekolah. “ Oya Nek, dan Pak Guru bilang katanya shalat subuh itu spesial banget ya Nek? Katanya sampai disaksikan oleh para malaikat?” memang pengetahuan agamanya mulai begitu mendalam. Sungguh rangkaian kisah hidup yang dialaminya membuat dia menjadi special diantara temannya yang lain. Pemikirannya begitu dewasa, tak heran jika Neneknya semakin bangga memiliki cucu seperti Fulan. “Lah iya nak, dan Fulan tahu? Apalagi jika shalat subuhnya di masjid. Itu pahalanya akan berlipat – lipat.”
            Kata – kata Nenek kesayangannya itu bagai racun yang sangat manjur, tanpa membutuhkan waktu yang panjang. Pagi hari tepat setelah adzan subuh berkumandang dari sebuah masjid kecil yang berada dipojok komplek. Fulan langsung bergegas pergi ke masjid mungil itu. Seketika tubuhnya menggigil ketakutan, entah mengapa pagi ini begitu gelap, hanya dengan penerangan lampu disetiap rumah yang tak begitu memberikan cahaya bagi pejalan kaki yang melewatinya. Dari sudut jalan kecil itu ada suara hentakan tongkat kakek tua yang sedang mencoba berusaha menyusuri jalan untuk pergi ke masjid melaksanakan shalat subuh. Rasanya sangat tenang, Fulan dengan pelan – pelan mengikuti jejak kakek tua itu. Bermaksud untuk meminta perlindungan dari gelap yang menghantuinya. Kakek ini bagai seorang super hero yang turun dari langit, bahkan mungkin sangat berbeda dari super hero kebanyakan yang selalu ia lihat di televisi. Ini benar – benar superhero yang sangat Fulan idolakan lebih – lebih dari superman yang jadi idolanya semenjak ia kecil.
            Kejadian ini terus berulang, seperti sudah berucap janji, Fulan pasti mangkir di sofa depan rumah menunggu Kakek tua itu lewat dengan suara khas tongkat yang hampir rapuh termakan waktu. Tapi di pagi ini, ada keanehan yang tak biasanya terjadi. Kakek yang ditunggunya itu tak kunjung melewati rumahnya, padahal hari sudah hampir pagi, ayam pun mulai bersaut – sautan menyapa dunia. Atau mungkin Kakek itu melewati jalan lain untuk berangkat ke masjid, atau mungkin ia telat keluar rumah sehingga Kakek itu sudah lewat sejak tadi pagi? Hatinya mulai bertanya – tanya. Mana mungkin ia bisa pergi ke masjid dengan seorang diri, menerobos gelapnya pagi yang begitu mencekam. Bagaimana bisa anak yang masih belia itu menempuhya seorang diri?
            Tepat keesokan harinya saat hari libur, kedua orang tuanya tidak bekerja, mereka pun bisa berkumpul bersama dalam sebuah naungan rumah megah itu. Tak lama, tiba – tiba ada berita bahwa tetangga disamping rumah Fulan meninggal dunia. Ternyata, tak lain dan tak bukan yang meninggal itu adalah Kakek tua yang selama ini menjadi super hero subuh bagi Fulan. Begitu mendengar beritanya, Fulan langsung melompat pergi ke rumah Kakek tua itu dengan hati yang sangat hancur. Bagaimana bisa aku pergi lagi ke masjid untuk menunaikan subuh sementara Kakek ini sudah meninggalkan dunia? Hatinya begitu amat sangat merasakan kesedihan yang mendalam. Jerit tangis seorang anak yang polos dan lugu ini mewarnai rumah kediaman jenazah Kakek tua. Ayah fulan, ia merasakan suatu keanehan yang ada pada anaknya. Ia sangat tahu bahwa Kakek ini tidak ada hubungan darah sekalipun dengan keluarga Fulan, tapi mengapa Fulan merasakan duka mendalam atas meninggalnya Kakek tua ini? Dengan rasa penasaran yang menggebu – gebu, Ayahnya coba untuk mendekati Fulan sekaligus dengan maksud ingin meredakan dari tangisnya, “Nak, sudah jangan menangis lagi ya. Kita do’a kan saja semoga Kakek ini diterima oleh Allah di sisiNya, kamu yang tenang ya sayang.” Usaha untuk meredakan tangisnya tak henti – henti Ayah Fulan lakukan. Dalam suasana haru para warga yang sedang berkunjung untuk mendo’akan Kakek tua ini seketika hanyut dalam keheningan. “ Mengapa tidak Papa saja yang meninggal?” dengan kepolosan Fulan yang memecah kesunyian siang ini. Sungguh bagaimana rasanya menjadi posisi Ayah Fulan menanggapi pertanyaan anak kesayangannya itu? “ Apa maksudmu nak?” tercecah seketika hati yang tadinya utuh menjadi butiran debu yang tak ada harganya sama sekali. “ Bagaimana bisa Fulan berangkat ke masjid lagi untuk melaksanakan shalat subuh tanpa Kakek ini? Karena hanya kakek ini, Fulan bisa berlindung dari kegelapan. Mengapa bukan Papa saja yang meninggal? Karena Fulan masih ingin shalat subuh berjamaah di masjid Pa, apa Papa bisa menggantikan Kakek ini? Sementara ayah pagi buta pun telah meninggalkan Fulan sendirian di rumah karena pekerjaan.”  Seketika air mata kepiluan membuncah, bagai tersungkur kedalam lembah, ada pilu yang menderu dalam jiwa, ada ringis kecewa yang tersirat, ada sesak di dada, ada getir yang tak mungkin terucap. Banyak sederet kisah yang bertahta yang Ayah Fulan lewatkan begitu saja dengan anak tunggalnya ini, wajar saja bila kekecewaan itu mengalir begitu deras. Namun kelamnya abu kehidupan selalu saja memberikan pelajaran teruntuk diri yang merindukan syahdunya kasih sayang. Seiring waktu terus bergulir, ada setitik hasrat dalam jiwa Ayah Fulan untuk memperbaiki diri. Hijrah memang berproses, hijrah memang bermetamorfosis, membawa insan menjadi lebih baik. Tapi sayang, semuanya telah terlambat. Allah Sang Khalik mempunyai rencana yang telah dipersiapkan sejak zaman Ajjali di lauhul mahfudz. Kematian memang telah jadi suratan takdir bagi setiap nafas yang hidup.
            Gemercik sore ini kian merdu, aroma bendera kuning dari kediaman Fulan masih terendus hangat. Tak ada nanar tampak selain nanar rindu. Rindu pada sosok Ayah dan Ibu yang telah meninggalkan Fulan lebih dahulu. Mata itu menyisir dengan detail dari setiap sudut kamar Ayah Fulan, bermaksud rindu ini bisa terobati. Tak sengaja, ia temukan secarik kertas terbungkus rapih amplop spiderman dari bawah kasur Ayahnya. Bagaimana mungkin tak menarik hati ketika kelopak mata itu melihat kartun idolanya ada pada sebuah amplop. Fulan mulai mendekat, perlahan ia buka sebuah surat yang terselip didalamnya. “ Teruntuk Anakku tersayang Fulan Rahmat Ibrahim” itulah tulisan pertama yang ia lihat dalam sampul depan. Ia putar balikkan otak, berfikir dan terus berfikir, bahkan sedikit tertegun melihat surat itu ditujukan padanya.
Teruntuk Annaku tersayang : Fulan Rahmat Ibrahim
Bismillah, Assalamu’alaikum Fulan anak satu – satunya yang paling Papa sayang, ini Papa nak, entah mengapa malam ini rasanya Papa tak bisa memejamkan mata semenjak kejadian tadi, iya anakku Fulan yang sangat mendambakan super hero sang Kakek tua itu? Annaku Fulan, entah berapa dosa yang mesti Papa tebus untuk membayar kekhilafan Papa selama ini Nak, entah harus berapa kali Papa bersujud syukur memiliki anak sepertimu. Harus seberapa besryukur pula Papa memiliki istri secantik Mamamu? Sebenarnya, sedari dulu sewaktu mengetahui Mamamu mengandung, rasanya Papa ingin sekali menyebrangi samudra,bagaimanapun caranya Papa ingin menjauh dari  kenyataan pahit ini Nak. Karena tanpa diduga, Papa melakukan penistaan yang begitu keji dengan Mamamu. Kami memang salah dalam mengartikan cinta, sehingga terperangkap dalam arena syaitan pada waktu itu. Iya nak, Mamamu mengandungmu sebelum Papa menikahi Mama. Maafkan Papa dan juga Mama nak. Tapi perlu kamu ketahui, kamu tetap bisa jadi anak yang hebat bahkan lebih dari anak seumuranmu. Papa berharap kamu bisa jadi investasi kami berdua di akhirat kelak. Papa harap kamu bisa jadi hijab kami berdua dari pedihnya api neraka kelak nak.
            Fulan, kesayangan Papa satu – satunya , sebenarnya Papa pun iri, ingin sekali rasanya bisa seperti Papa yang lain, yang bisa mengantarkanmu setiap pagi ke gerbang dimana kamu menimba ilmu, membacakan dongeng sebelum kamu terlelap tidur, mengajarkan ayat – ayat Al – Qur’an untuk menjagamu dari kehidupan yang fana ini. Tapi apalah daya Papa karnea tuntutan pekerjaan, membuat semuanya itu Papa abaikan, padahal Papa sangat tau ini amat sangat sederhana tapi sangat mempengaruhi kehidupanmu nak, mempengaruhi piskismu. Papa begitu amat menyesal Nak, Papa harap kamu bisa memaafkan kekhilafan Papa.
 Anakku Fulan, perlu kamu ketahui juga spiderman satu – satunya idola super hero mu itu lebih hebat dari seorang Nabi Muhammad yang seharusnya kau lebih idolakan, bahkan Nabi Muhammad yang bisa jadi super hero kita nanti di akhirat yang akan memberikan syafaatnya. Papa sangat mendambakan Nabi Muhammad nak, jadi Papa harap kamu pun dapat menyusuri jejaknya. Dulu Papa selalu memegang teguh sunnahnya, tapi entah mengapa seketika Papa masuk dalam jurang kelamya hidup yang membuat Papa menjadi lupa akan kehidupan akhirat dan selalu mendamba – dambakan dunia. Papa tau sangat salah Nak, dan kamu jangan pernah mengikuti jejak Papa. Tapi sungguh Papa tak menyesali rangkaian cerita ini, karena rentetan kejadian ini pula yang memberikan Papa banyak pelajaran, dan Papa mendapatkan hikmah didalamnya. Sekali lagi Papa minta maaf Nak,maafkan Papa yang sudah bersalah padamu, yang menjadikanmu di dunia dengan cara yang tak direstuiNya. Tapi percayalah nak, dari lubuk hati Papa yang paling dalam, Papa selalu berusaha menjadi yang terbaik di hati anak dan istri Papa.
Nak, Papa amanat kepadamu. Jaga dirimu baik – baik, jaga hatimu, jaga imanmu. Karena itu pondasi utama yang bisa menopang kehidupanmu. Nak, banyak diluaran sana yang terlena dengan keelokan dunia, padahal hanya semu ilusi yang membutakan mata dan hati. Bertakwallah pada RabbMu Nak, Allah Azza Wajjala, mohonlah perlindunganNya selalu. Papa sangatlah yakin, kamulah yang akan menjadi jembatan penolong kami berdua di akhirat nanti, kamulah calon bidadara Allah di syurga Nak. Tetap tegakkan Agama Allah diatas segala – galanya. Papa harap kamu bisa membaca ini disaat usiamu cukup dewasa, agar kamu pun mengerti apa yang Papa maksud. Kamu segalanya bagi kami Nak. Kami sayang Fulan karena Allah. Papa sayang kamu.
Dari Papa yang selalu menyayangimu, Fulan Rahmat Ibrahim
            Terdekap eratlah surat itu oleh jari jemari mungil Fulan. Tak tersadarkan, air matanya bercucuran. Seperti ada dekapan hangat yang selama ini ia cari dalam serpihan kata dalam surat cinta Ayahnya itu. “MasyaAllah Papa, aku sungguh sangat mencintaimu Pa..” Dalam alunan denting jam dinding, hadirlah sekelebat wajah cerah Ayahnya bagai bintang jatuh yang lenyap keluar dari bingkai mata. Ada sedikit sakit yang begitu mengiris saat tahu bahwa dirinya dilahirkan dalam keadaan nista dimata Rabbnya. Tapi itu tak sedikitpun melunturkan rasa sayang Fulan kepada Ayahnya. Takdir  yang membawanya harus mengalun seperti ini. Mungkin ini juga semacam suatu isyarat yang Ayah Fulan rasakan sebelum kepergiaannya karena tragedi kecelakaan beruntun yang terjadi sore kemarin bersama Ibunya sesaat sebelum berangkat ke kantor. Fulan terus membaurkan prasangkanya. Ada tetes air mata yang mengalir karena rindu yang tertahan.
            Kini kehidupannya semakin hampa tanpa hadir sesosok Ayah dan Ibu dalam bait cerita jiwanya. Tapi keadaan ini sudah sangat biasa dirasakan Fulan, karena ia masih punya sang Nenek yang masih saja tetap setia menemani hari – harinya. Ini Nenek bukan sekedar Nenek bagi Fulan, bahkan seperti ibu kedua, kasih sayangnya sudah tak perlu diragukan lagi. Tangan keriputnya yang selalu setia meracik masakan dengan bumbu kasih sayang untuk cucu kesayangannya tak pernah bosan dilakukannya. Tutur kata rendah maupun tingginya, dan segala bentuk kasih sayang yang tak terhitung oleh jari.
            Malam ini begitu syahdu, karena ada sepotong hati yang baru ,mengiringi manisnya perjuangan Nenek yang sedang membesarkan cucunya. Sudah seperti rutinitas jika setiap malam Neneknya membacakan dongeng para Nabi, atau kisah – kisah para sahabat Nabi terdahulu.Tak hanya itu, bacaan surat – surat pendek pun selalu mengalun syahdu setiap malam mengiringi terpejamnya mata Fulan. “Nek, kemarin Fulan dengar dari guru agama Fulan, apa betul ya Nek dengan kita membacakan surah Al-Ikhlas sebanyak 10x saja kita bisa membangun istana di surga Allah?” mulut mungilnya memang semakin telaten jika membicarakan perihal agama. “ Iya sayang, nah maka dari itu kamu perbanyak membaca surah itu agar kamu bisa membuat istana di surga Allah, nanti tapi jangan lupa ajak Mama Papa juga untuk berdiam di istana Fulan, agar mereka biar bisa terhindar dari pedihnya api neraka. Fulan mau?” dengan sabarnya Nenek ini tak pernah lelah absen untuk menyuapi ilmu agama meski hanya satu kata sekalipun.
            Melodi irama waktu ini terus bergulir mengiringi kehidupan Fulan yang sekarang yatim piatu. Tapi semenjak itu pula rasanya Fulan tak pernah merasakan hausnya kasih sayang. Meski hanya ia dapat dari seorang Nenek, tapi baginya ini sudah lebih dari cukup. Kisah ini memang terus mengalir dalam pasang surut arus tanpa menemui asa yang jelas dan tiada kepastian. Tetap terkatung diujung pertahanan. Usia Nenek pun semakin hari semakin usang termakan pedihnya waktu. Untaian tangan keriputnya sudah tak mampu lagi meracik masakan kesukaannya. Keadaan sekarang sudah berbalik. Fulan yang dengan telaten mengurusi Neneknya yang semakin hari usianya beradaa diujung senja.Saat asa itu sudah tak ada lagi dipelupuk mata. Hilang terkubur sekejap mata. Tepat saat Fulan beranjak semakin dewasa, takdir sang Khalik itu menampakan kelabunya. Tak disangka tak diduga, ajal itu menjemput sang Nenek tersayang. Saat nafas itu sudah ada diujung tenggorokan, amanat itu terus bergulir dari mulut Nenek secara terbata – bata. “ Sayang, cucuku Fulan jaga dirimu baik – baik. Jaga terus imanmu terhadap Rabbmu. Jadilah kamu anak yang sholeh agar bisa jadi hijab api neraka untuk kedua orangtuamu, dan untuk Nenek. Nenek selalu menyayangimu karna Allah, Fulan. Nenek berharap surat Al-Ikhlas yang Nenek bacakan untuk yang terakhir kalinya ini bisa jadi istana kelak untuk peneduh Nenek diakhirat nanti, agar kita masih bisa bersama – sama di istana surga Allah.” Air mata itu terus bercucuran membasahi hati yang sunyi, takut kehilangan sosok Nenek hebat itu begitu sakit bagai pedang yang menghujam dada. “Nek, Nenek tidak perlu membacakan surat Al – ikhlas itu untuk membangun istana disana, cukup Fulan yang membacakannya. Izinkan Fulan mempersembahkan yang terakhir kalinya untuk Nenek. Surat Al – ikhlas beserta cinta ini Fulan khususkan untukmu wahai Nenek terhebat yang Fulan miliki. Kelak nanti kita bisa bersama di surgaNya Nek. Fulan disini akan tetapkan tegakan agama Allah seperti yang Almarhum Ayah inginkan, akan tetap menjaga hati dan iman Fulan seperti yang Nenek inginkan. Semoga Fulan benar – benar bisa menjadi investasi kelak di surgaNya, bisa menjadi seseorang yang mampu orangtua Fulan banggakan dimata Rasulullah, jadi penolong di padang mahsyar dan menjadi hijab dari api neraka.” Pelukan hangat terakhir itu bagai semilir angin yang menyejukkan jiwa yang menentramkan siapa saja yang merasakannya. Akhirnya, Nenek itu sekarang telah tentram dalam dekapan Allah di langit sana, tersenyum pula melihat Fulan cucu kesayangannya yang semakin tumbuh dewasa dan dapat hidup bahagia meski sebatang kara.









Tidak ada komentar:

Posting Komentar