Bumbu
Cinta Al – Ikhlas Untuk Nenek
Senja sore ini angin
menyeruak begitu kencang, air bercucuran mengiringi kepedihan di ranah ibu
kota. Dengan langkah yang tertatih – tatih seorang anak menyusuri jalanan
hingga matahari terbenam. Ya, seorang anak yang begitu mendambakan kasih sayang
kedua orang tuanya. Pikirnya, hanya satu-satunya cara agar dia bisa mendapatkan kasih yang begitu tulus
dari orang tuanya adalah menemui Tuhan. Hanya dengan cara itu, ia bisa meminta
pada Tuhan agar ia bisa seperti teman – teman yang lain, merasakan dekapan
hangat orang tua yang selalu ia rindu. Namun itu hanya khayalan belaka, karena
ia tau kedua orang tuanya selalu sibuk memikirkan pekerjaan.Mana mungkin
keduanya bisa mengingat bagaimana rasanya seorang anak kecil yang sangat
merindukan dekapan hangat mereka.
“Tuhan?
Siapakah dia? Harus kemanakah aku mencarinya?” Angan – angannya kembali tercecah
– cecah. Bagaimana bisa seorang anak kecil lugu nan polos dengan usia yang
sangat belia harus memahami siapakah Tuhannya. Sekelibat bayangan terlintas
dalam fikiranya bersama rintik hujan pada sore itu. Begitu detail rekamannya
terlintas jelas dalam angannya, bahwa pada suatu hari ketika ia pulang sekolah,
ia melihat rombongan jenazah melintas di pagar rumahnya. Dan orang – orang
bilang bahwa hanya dengan meninggal kita bisa bertemu dengan Tuhan. Keesokan
harinya, ia langsung menghampiri Neneknya di sebuah gubuk yang memang tak jauh
dari rumahnya. Bermaksud untuk menanyakan suatu hal yang selama ini ia
fikirkan. “Assalamu’alaikum Nek.” sambil mencoba mengetuk pintu yang hampir
rapuh termakan lapuknya usia. “ Ini Fulan Nek.” Ya, seorang anak yang lugu nan
polos ini bernama Fulan Rahmat Ibrahim. Yang lebih hangat disapa Fulan. Umurnya
yang begitu belia, ia baru saja mengenyam pendidikan Sekolah Dasar tepatnya ia
duduk di bangku kelas 3.“Nek Fulan mau nanya boleh?Nek memangnya kalau kita mau
ketemu Tuhan kita perlu meninggal dulu ya Nek? Fulan mau banget Nek ketemu
Tuhan. Bantu Fulan untuk meninggal sekarang juga.” Tersentak Nenek heran
mendengar ucapan cucu kesayangannya itu. “ Fulan sayang mau ketemu Tuhan?”
dengan kata yang terbata – bata karena masih memikirkan saja sikap cucunya yang
sangat aneh. “ Ia Nek, Fulan mau ketemu Tuhan, Fulan mau minta sama Tuhan agar
Fulan bisa seperti teman – teman yang lain Nek. Yang bisa setiap pagi diantar
sekolah oleh Papanya, yang setiap sebelum tidur bisa diberi dongeng oleh
Mamanya, yang bisa merasakan pelukan Mama Papa setiap harinya Nek. Kenapa ya
Mama Papa Fulan selalu sibuk dengan pekerjaannya Nek? Apa emang mereka enggak
sayang sama Fulan?” MashaaAllah, mendengar pinta cucunya itu, Nenek langsung mendekap
erat tubuh mungilnya. “Bagaimana bisa aku menggantikan peran keduanya, sementara aku sangat tahu
bahwa kasih sayang kedua orang tua itu tidak akan pernah tergantikan? Bahkan tak
bisa dibeli dengan seonggok berlian sekalipun.” Pecah air mata keduanya. Seolah
– olah dunia ini memang telah kehilangan suatu sumber kasih sayang yang sangat
begitu didambakan oleh seorang anak yang haus merasakan kasih yang terpancar
tulus dari orangtua. “ Fulan tahu? Nenek punya cara lain untuk bertemu Tuhan.”
Mendengar itu, ia merasa mendapat setitik celah cahaya dari legamnya kegelapan
yang selama ini ia susuri. “ Cara apa Nek? Fulan ingin tahu.” Rasanya ingin sekali ia segera tahu dan
melaksanakan caranya itu. “ Fulan, cucu kesayangan Nenek, dengan kita
mendirikan Sholat, dan berdo’a kepada Allah, kita bisa bertemu dengan Allah
secara tidak langsung.” Ditemani kicauan burung pada pagi itu, dan semerbak
embun yang masih hangat menyapa hati yang sedang bergejolak. Bergumam, terus ia
paksakan otaknya untuk mencerna kata – kata Neneknya yang barusan di lontarkan.
“Sholat?Allah? Itu apa Nek?”
Sakit,
rasanya hati Nenek ini teriris bagai luka yang tersiram air garam. Sungguh
hebat rasa bersalahnya mulai menghantui jiwa. Bagaimana mungkin ketika teringat
kisah masa lalu anaknya yang begitu kelam. Hamil diluar nikah memang aib yang
begitu keji, jangankan dimata manusia, di mata Allah pun itu telah digolongkan
pada dosa besar. Caci maki sudah menjadi santapan Nenek setiap harinya pada masa itu. Penyesalan
memang tak pernah datang diawal, benar adanya karena Nenek tahu ia tak bisa
mendidik anaknya dengan baik. Benar apa yang dikata orang. Ajaran agama itu
sangat penting untuk menjadi pondasi yang kokoh bagi seorang anak. Bagaimana
bisa Nenek itu terima jikalau cerita masa lalu anaknya akan dialami pula oleh
cucunya? Begitu miris rasanya ketika tahu, cucunya tidak pernah diperkenalkan
dengan Ilmu Agama hingga detik ini. Apa ini semacam hukuman kehidupan yang
berantai yang harus dialami oleh serentet kisah cerita keluarga kecil ini.
“Fulan sayang, mulai besok Nenek ajari kamu sholat ya. Nenek janji, bantu Fulan
untuk ketemu Tuhan.” Lorong hati gelap yang seketika disinari cahaya terang
benderang, Fulan pun menemukan arah jalan yang selama ini ia cari.
Hari
demi hari, kelihatannya Fulan semakin faham siapa itu Allah dan ia mulai bisa
mendirikan sholat dengan baik. Umurnya memang sangat belia, tapi ia berbeda
dari anak yang lainnya. Ia lugu, namun pemikirannya dewasa. Rangkaian cerita
hidupnya yang membuat ia dewasa dengan sendirinya, yang seharusnya seorang anak
kecil seumuran Fulan tak merasakan hausnya kasih sayang yang bisa ia dapatkan
secara gratis dari kedua orangtua nya. Suatu hari, ia dibelikan sebuah buku
oleh Neneknya. “Surga dan Neraka” judul yang sangat menarik bagi dirinya.
Dimana ia bisa mengenal apa itu surga dan neraka, dan tepat dihalaman 9 ia
menemukan suatu hukuman bagi orang yang tidak melaksanakan shalat. Begitu
menyeramkan, dalam fikirnya. Jika di makan lahap oleh semburan api yang begitu
panas. Terlintas seketika ia ingat, kedua orang tuanya selalu sibuk dengan
pekerjaannya dan selalu meninggalkan shalat, bahkan mungkin tidak
melaksanakannya. Tubuhnya bergetar hebat, bagaimana mungkin ia rela kedua orang
yang sangat disayangnya itu dimakan hangus oleh api neraka nanti. Suatu malam
nan sepi, Fulan rela tak tidur hingga terlarut malam karena ia ingin bertemu
kedua orangtuanya. Tepat tengah malam tiba, gerekan garasi mobil terdengar.
Fulan langsung berlari kegirangan untuk menemui keduanya. “ Maa... Pa... Fulan
kangen.” Pelukan hangat itu ia bisa rasakan lagi setelah sekian lama hilang. “
Fulan, kenapa belum tidur nak?” tanya heran Mamanya. Tanpa berfikir panjang
lagi, dengan kepolosannya ia melontarkan maksud mengapa ia menunggu kedua orang
tuanya hingga terlarut malam. “Ma... Pa... Fulan kemarin dibelikan Nenek buku,
bukunya bagus Ma. Mama mau baca? Judulnya “Surga dan Neraka”, Ma Fulan baca
disitu katanya kalau orang yang selalu meninggalkan shalat akan masuk neraka.
Ma.. Pa.. Fulan takut Mama Papa dimakan api neraka karena sering meninggalkan
shalat.” Hanyutlah keduanya dalam haru, masih saja mereka kebingungan darimana
bisa anaknya ini mengerti neraka, apa itu shalat, padahal keduanya tak pernah
mengajari tentang agama sedikitpun semenjak ia dalam kandungan. Bagaimana mungkin
Fulan bisa sampai begitu mengkhawatirkan keduanya, padahal mereka akui
bahwasannya tak pernah sedikitpun menyentuhkan kasih sayang kedalam jiwa Fulan.
Sebenarnya keduanya pun tak mau masuk kedalam dunia yang membuat jauh kepada
Sang Khalik. Tapi apa boleh dikata, keadaan ini yang memaksanya. Keduanya tak
mampu berkata – kata, mulutnya bagai terkunci rapat membisu.
Tak
biasanya hari begitu terik dengan cahaya yang berlomba – lomba bertumbukan
untuk mencerahkan hari ini. Seperti biasa sepulang sekolah Fulan selalu
menyempatkan mengunjungi Nenek tercintanya. Tak lain yaitu ingin belajar
mengenai ilmu agama. “Nek, tau nggak? Tadi kebetulan guru agama Fulan diganti
loh Nek, katanya ada pertukaran sementara dari yang mengajar kelas 6 ditukar
untuk sementara ke kelas 3, di kelas Fulan Nek.” Tuturnya. Memang semenjak
kedua orangtuanya disibukkan dengan pekerjaannya, Neneklah yang mungkin bisa
dijadikan tumpuan kasih sayang kedua bagi Fulan. Rasanya tak pernah absen satu
hari pun, untuk tidak menceritakan setiap kejadian yang ia alami selama
disekolah. “ Oya Nek, dan Pak Guru bilang katanya shalat subuh itu spesial
banget ya Nek? Katanya sampai disaksikan oleh para malaikat?” memang
pengetahuan agamanya mulai begitu mendalam. Sungguh rangkaian kisah hidup yang dialaminya
membuat dia menjadi special diantara temannya yang lain. Pemikirannya begitu
dewasa, tak heran jika Neneknya semakin bangga memiliki cucu seperti Fulan.
“Lah iya nak, dan Fulan tahu? Apalagi jika shalat subuhnya di masjid. Itu
pahalanya akan berlipat – lipat.”
Kata
– kata Nenek kesayangannya itu bagai racun yang sangat manjur, tanpa
membutuhkan waktu yang panjang. Pagi hari tepat setelah adzan subuh
berkumandang dari sebuah masjid kecil yang berada dipojok komplek. Fulan
langsung bergegas pergi ke masjid mungil itu. Seketika tubuhnya menggigil
ketakutan, entah mengapa pagi ini begitu gelap, hanya dengan penerangan lampu
disetiap rumah yang tak begitu memberikan cahaya bagi pejalan kaki yang
melewatinya. Dari sudut jalan kecil itu ada suara hentakan tongkat kakek tua
yang sedang mencoba berusaha menyusuri jalan untuk pergi ke masjid melaksanakan
shalat subuh. Rasanya sangat tenang, Fulan dengan pelan – pelan mengikuti jejak
kakek tua itu. Bermaksud untuk meminta perlindungan dari gelap yang menghantuinya.
Kakek ini bagai seorang super hero yang turun dari langit, bahkan mungkin
sangat berbeda dari super hero kebanyakan yang selalu ia lihat di televisi. Ini
benar – benar superhero yang sangat Fulan idolakan lebih – lebih dari superman
yang jadi idolanya semenjak ia kecil.
Kejadian
ini terus berulang, seperti sudah berucap janji, Fulan pasti mangkir di sofa
depan rumah menunggu Kakek tua itu lewat dengan suara khas tongkat yang hampir
rapuh termakan waktu. Tapi di pagi ini, ada keanehan yang tak biasanya terjadi.
Kakek yang ditunggunya itu tak kunjung melewati rumahnya, padahal hari sudah
hampir pagi, ayam pun mulai bersaut – sautan menyapa dunia. Atau mungkin Kakek
itu melewati jalan lain untuk berangkat ke masjid, atau mungkin ia telat keluar
rumah sehingga Kakek itu sudah lewat sejak tadi pagi? Hatinya mulai bertanya –
tanya. Mana mungkin ia bisa pergi ke masjid dengan seorang diri, menerobos
gelapnya pagi yang begitu mencekam. Bagaimana bisa anak yang masih belia itu
menempuhya seorang diri?
Tepat
keesokan harinya saat hari libur, kedua orang tuanya tidak bekerja, mereka pun
bisa berkumpul bersama dalam sebuah naungan rumah megah itu. Tak lama, tiba –
tiba ada berita bahwa tetangga disamping rumah Fulan meninggal dunia. Ternyata,
tak lain dan tak bukan yang meninggal itu adalah Kakek tua yang selama ini
menjadi super hero subuh bagi Fulan. Begitu mendengar beritanya, Fulan langsung
melompat pergi ke rumah Kakek tua itu dengan hati yang sangat hancur. Bagaimana
bisa aku pergi lagi ke masjid untuk menunaikan subuh sementara Kakek ini sudah
meninggalkan dunia? Hatinya begitu amat sangat merasakan kesedihan yang
mendalam. Jerit tangis seorang anak yang polos dan lugu ini mewarnai rumah
kediaman jenazah Kakek tua. Ayah fulan, ia merasakan suatu keanehan yang ada
pada anaknya. Ia sangat tahu bahwa Kakek ini tidak ada hubungan darah sekalipun
dengan keluarga Fulan, tapi mengapa Fulan merasakan duka mendalam atas
meninggalnya Kakek tua ini? Dengan rasa penasaran yang menggebu – gebu, Ayahnya
coba untuk mendekati Fulan sekaligus dengan maksud ingin meredakan dari
tangisnya, “Nak, sudah jangan menangis lagi ya. Kita do’a kan saja semoga Kakek
ini diterima oleh Allah di sisiNya, kamu yang tenang ya sayang.” Usaha untuk
meredakan tangisnya tak henti – henti Ayah Fulan lakukan. Dalam suasana haru
para warga yang sedang berkunjung untuk mendo’akan Kakek tua ini seketika
hanyut dalam keheningan. “ Mengapa tidak Papa saja yang meninggal?” dengan
kepolosan Fulan yang memecah kesunyian siang ini. Sungguh bagaimana rasanya
menjadi posisi Ayah Fulan menanggapi pertanyaan anak kesayangannya itu? “ Apa
maksudmu nak?” tercecah seketika hati yang tadinya utuh menjadi butiran debu
yang tak ada harganya sama sekali. “ Bagaimana bisa Fulan berangkat ke masjid
lagi untuk melaksanakan shalat subuh tanpa Kakek ini? Karena hanya kakek ini,
Fulan bisa berlindung dari kegelapan. Mengapa bukan Papa saja yang meninggal?
Karena Fulan masih ingin shalat subuh berjamaah di masjid Pa, apa Papa bisa
menggantikan Kakek ini? Sementara ayah pagi buta pun telah meninggalkan Fulan
sendirian di rumah karena pekerjaan.” Seketika
air mata kepiluan membuncah, bagai tersungkur kedalam lembah, ada pilu yang
menderu dalam jiwa, ada ringis kecewa yang tersirat, ada sesak di dada, ada
getir yang tak mungkin terucap. Banyak sederet kisah yang bertahta yang Ayah
Fulan lewatkan begitu saja dengan anak tunggalnya ini, wajar saja bila
kekecewaan itu mengalir begitu deras. Namun kelamnya abu kehidupan selalu saja
memberikan pelajaran teruntuk diri yang merindukan syahdunya kasih sayang.
Seiring waktu terus bergulir, ada setitik hasrat dalam jiwa Ayah Fulan untuk
memperbaiki diri. Hijrah memang berproses, hijrah memang bermetamorfosis,
membawa insan menjadi lebih baik. Tapi sayang, semuanya telah terlambat. Allah
Sang Khalik mempunyai rencana yang telah dipersiapkan sejak zaman Ajjali di
lauhul mahfudz. Kematian memang telah jadi suratan takdir bagi setiap nafas
yang hidup.
Gemercik
sore ini kian merdu, aroma bendera kuning dari kediaman Fulan masih terendus
hangat. Tak ada nanar tampak selain nanar rindu. Rindu pada sosok Ayah dan Ibu
yang telah meninggalkan Fulan lebih dahulu. Mata itu menyisir dengan detail
dari setiap sudut kamar Ayah Fulan, bermaksud rindu ini bisa terobati. Tak
sengaja, ia temukan secarik kertas terbungkus rapih amplop spiderman dari bawah
kasur Ayahnya. Bagaimana mungkin tak menarik hati ketika kelopak mata itu
melihat kartun idolanya ada pada sebuah amplop. Fulan mulai mendekat, perlahan
ia buka sebuah surat yang terselip didalamnya. “ Teruntuk Anakku tersayang
Fulan Rahmat Ibrahim” itulah tulisan pertama yang ia lihat dalam sampul depan.
Ia putar balikkan otak, berfikir dan terus berfikir, bahkan sedikit tertegun
melihat surat itu ditujukan padanya.
¶ Teruntuk Annaku tersayang : Fulan Rahmat Ibrahim
Bismillah, Assalamu’alaikum Fulan anak satu –
satunya yang paling Papa sayang, ini Papa nak, entah mengapa malam ini rasanya
Papa tak bisa memejamkan mata semenjak kejadian tadi, iya anakku Fulan yang
sangat mendambakan super hero sang Kakek tua itu? Annaku Fulan, entah berapa
dosa yang mesti Papa tebus untuk membayar kekhilafan Papa selama ini Nak, entah
harus berapa kali Papa bersujud syukur memiliki anak sepertimu. Harus seberapa
besryukur pula Papa memiliki istri secantik Mamamu? Sebenarnya, sedari dulu
sewaktu mengetahui Mamamu mengandung, rasanya Papa ingin sekali menyebrangi samudra,bagaimanapun
caranya Papa ingin menjauh dari
kenyataan pahit ini Nak. Karena tanpa diduga, Papa melakukan penistaan
yang begitu keji dengan Mamamu. Kami memang salah dalam mengartikan cinta,
sehingga terperangkap dalam arena syaitan pada waktu itu. Iya nak, Mamamu
mengandungmu sebelum Papa menikahi Mama. Maafkan Papa dan juga Mama nak. Tapi
perlu kamu ketahui, kamu tetap bisa jadi anak yang hebat bahkan lebih dari anak
seumuranmu. Papa berharap kamu bisa jadi investasi kami berdua di akhirat
kelak. Papa harap kamu bisa jadi hijab kami berdua dari pedihnya api neraka
kelak nak.
Fulan,
kesayangan Papa satu – satunya , sebenarnya Papa pun iri, ingin sekali rasanya
bisa seperti Papa yang lain, yang bisa mengantarkanmu setiap pagi ke gerbang
dimana kamu menimba ilmu, membacakan dongeng sebelum kamu terlelap tidur,
mengajarkan ayat – ayat Al – Qur’an untuk menjagamu dari kehidupan yang fana
ini. Tapi apalah daya Papa karnea tuntutan pekerjaan, membuat semuanya itu Papa
abaikan, padahal Papa sangat tau ini amat sangat sederhana tapi sangat
mempengaruhi kehidupanmu nak, mempengaruhi piskismu. Papa begitu amat menyesal
Nak, Papa harap kamu bisa memaafkan kekhilafan Papa.
Anakku
Fulan, perlu kamu ketahui juga spiderman satu – satunya idola super hero mu itu
lebih hebat dari seorang Nabi Muhammad yang seharusnya kau lebih idolakan,
bahkan Nabi Muhammad yang bisa jadi super hero kita nanti di akhirat yang akan
memberikan syafaatnya. Papa sangat mendambakan Nabi Muhammad nak, jadi Papa
harap kamu pun dapat menyusuri jejaknya. Dulu Papa selalu memegang teguh sunnahnya,
tapi entah mengapa seketika Papa masuk dalam jurang kelamya hidup yang membuat
Papa menjadi lupa akan kehidupan akhirat dan selalu mendamba – dambakan dunia.
Papa tau sangat salah Nak, dan kamu jangan pernah mengikuti jejak Papa. Tapi
sungguh Papa tak menyesali rangkaian cerita ini, karena rentetan kejadian ini
pula yang memberikan Papa banyak pelajaran, dan Papa mendapatkan hikmah
didalamnya. Sekali lagi Papa minta maaf Nak,maafkan Papa yang sudah bersalah
padamu, yang menjadikanmu di dunia dengan cara yang tak direstuiNya. Tapi percayalah
nak, dari lubuk hati Papa yang paling dalam, Papa selalu berusaha menjadi yang
terbaik di hati anak dan istri Papa.
Nak, Papa amanat kepadamu. Jaga dirimu baik –
baik, jaga hatimu, jaga imanmu. Karena itu pondasi utama yang bisa menopang
kehidupanmu. Nak, banyak diluaran sana yang terlena dengan keelokan dunia,
padahal hanya semu ilusi yang membutakan mata dan hati. Bertakwallah pada
RabbMu Nak, Allah Azza Wajjala, mohonlah perlindunganNya selalu. Papa sangatlah
yakin, kamulah yang akan menjadi jembatan penolong kami berdua di akhirat
nanti, kamulah calon bidadara Allah di syurga Nak. Tetap tegakkan Agama Allah
diatas segala – galanya. Papa harap kamu bisa membaca ini disaat usiamu cukup
dewasa, agar kamu pun mengerti apa yang Papa maksud. Kamu segalanya bagi kami
Nak. Kami sayang Fulan karena Allah. Papa sayang kamu.
Dari Papa yang selalu menyayangimu, Fulan
Rahmat Ibrahim
Terdekap
eratlah surat itu oleh jari jemari mungil Fulan. Tak tersadarkan, air matanya
bercucuran. Seperti ada dekapan hangat yang selama ini ia cari dalam serpihan
kata dalam surat cinta Ayahnya itu. “MasyaAllah Papa, aku sungguh sangat
mencintaimu Pa..” Dalam alunan denting jam dinding, hadirlah sekelebat wajah
cerah Ayahnya bagai bintang jatuh yang lenyap keluar dari bingkai mata. Ada
sedikit sakit yang begitu mengiris saat tahu bahwa dirinya dilahirkan dalam
keadaan nista dimata Rabbnya. Tapi itu tak sedikitpun melunturkan rasa sayang
Fulan kepada Ayahnya. Takdir yang
membawanya harus mengalun seperti ini. Mungkin ini juga semacam suatu isyarat
yang Ayah Fulan rasakan sebelum kepergiaannya karena tragedi kecelakaan
beruntun yang terjadi sore kemarin bersama Ibunya sesaat sebelum berangkat ke
kantor. Fulan terus membaurkan prasangkanya. Ada tetes air mata yang mengalir
karena rindu yang tertahan.
Kini
kehidupannya semakin hampa tanpa hadir sesosok Ayah dan Ibu dalam bait cerita
jiwanya. Tapi keadaan ini sudah sangat biasa dirasakan Fulan, karena ia masih
punya sang Nenek yang masih saja tetap setia menemani hari – harinya. Ini Nenek
bukan sekedar Nenek bagi Fulan, bahkan seperti ibu kedua, kasih sayangnya sudah
tak perlu diragukan lagi. Tangan keriputnya yang selalu setia meracik masakan
dengan bumbu kasih sayang untuk cucu kesayangannya tak pernah bosan
dilakukannya. Tutur kata rendah maupun tingginya, dan segala bentuk kasih
sayang yang tak terhitung oleh jari.
Malam
ini begitu syahdu, karena ada sepotong hati yang baru ,mengiringi manisnya
perjuangan Nenek yang sedang membesarkan cucunya. Sudah seperti rutinitas jika
setiap malam Neneknya membacakan dongeng para Nabi, atau kisah – kisah para
sahabat Nabi terdahulu.Tak hanya itu, bacaan surat – surat pendek pun selalu
mengalun syahdu setiap malam mengiringi terpejamnya mata Fulan. “Nek, kemarin
Fulan dengar dari guru agama Fulan, apa betul ya Nek dengan kita membacakan
surah Al-Ikhlas sebanyak 10x saja kita bisa membangun istana di surga Allah?”
mulut mungilnya memang semakin telaten jika membicarakan perihal agama. “ Iya
sayang, nah maka dari itu kamu perbanyak membaca surah itu agar kamu bisa
membuat istana di surga Allah, nanti tapi jangan lupa ajak Mama Papa juga untuk
berdiam di istana Fulan, agar mereka biar bisa terhindar dari pedihnya api
neraka. Fulan mau?” dengan sabarnya Nenek ini tak pernah lelah absen untuk
menyuapi ilmu agama meski hanya satu kata sekalipun.
Melodi
irama waktu ini terus bergulir mengiringi kehidupan Fulan yang sekarang yatim
piatu. Tapi semenjak itu pula rasanya Fulan tak pernah merasakan hausnya kasih
sayang. Meski hanya ia dapat dari seorang Nenek, tapi baginya ini sudah lebih
dari cukup. Kisah ini memang terus mengalir dalam pasang surut arus tanpa
menemui asa yang jelas dan tiada kepastian. Tetap terkatung diujung pertahanan.
Usia Nenek pun semakin hari semakin usang termakan pedihnya waktu. Untaian
tangan keriputnya sudah tak mampu lagi meracik masakan kesukaannya. Keadaan
sekarang sudah berbalik. Fulan yang dengan telaten mengurusi Neneknya yang
semakin hari usianya beradaa diujung senja.Saat asa itu sudah tak ada lagi dipelupuk
mata. Hilang terkubur sekejap mata. Tepat saat Fulan beranjak semakin dewasa, takdir
sang Khalik itu menampakan kelabunya. Tak disangka tak diduga, ajal itu
menjemput sang Nenek tersayang. Saat nafas itu sudah ada diujung tenggorokan,
amanat itu terus bergulir dari mulut Nenek secara terbata – bata. “ Sayang,
cucuku Fulan jaga dirimu baik – baik. Jaga terus imanmu terhadap Rabbmu.
Jadilah kamu anak yang sholeh agar bisa jadi hijab api neraka untuk kedua
orangtuamu, dan untuk Nenek. Nenek selalu menyayangimu karna Allah, Fulan.
Nenek berharap surat Al-Ikhlas yang Nenek bacakan untuk yang terakhir kalinya ini
bisa jadi istana kelak untuk peneduh Nenek diakhirat nanti, agar kita masih
bisa bersama – sama di istana surga Allah.” Air mata itu terus bercucuran
membasahi hati yang sunyi, takut kehilangan sosok Nenek hebat itu begitu sakit
bagai pedang yang menghujam dada. “Nek, Nenek tidak perlu membacakan surat Al –
ikhlas itu untuk membangun istana disana, cukup Fulan yang membacakannya.
Izinkan Fulan mempersembahkan yang terakhir kalinya untuk Nenek. Surat Al –
ikhlas beserta cinta ini Fulan khususkan untukmu wahai Nenek terhebat yang
Fulan miliki. Kelak nanti kita bisa bersama di surgaNya Nek. Fulan disini akan
tetapkan tegakan agama Allah seperti yang Almarhum Ayah inginkan, akan tetap
menjaga hati dan iman Fulan seperti yang Nenek inginkan. Semoga Fulan benar –
benar bisa menjadi investasi kelak di surgaNya, bisa menjadi seseorang yang
mampu orangtua Fulan banggakan dimata Rasulullah, jadi penolong di padang
mahsyar dan menjadi hijab dari api neraka.” Pelukan hangat terakhir itu bagai
semilir angin yang menyejukkan jiwa yang menentramkan siapa saja yang
merasakannya. Akhirnya, Nenek itu sekarang telah tentram dalam dekapan Allah di
langit sana, tersenyum pula melihat Fulan cucu kesayangannya yang semakin
tumbuh dewasa dan dapat hidup bahagia meski sebatang kara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar